Rabu, 05 April 2017

Akulturasi Hindu-Budha dan Islam dalam bidang Bangunan dan Seni Rupa


Akulturasi budaya Hindu-Budha dan Islam 
Materi  sejarah Indonesia kelas 10

B. Akulturasi Budaya Hindu-Budha dan Islam; Letak Bangunan masjid.
Dalam ajaran Islam, letak bangunan masjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan sImbol tempat bersatunya rakyat dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, di Indonesia biasanya setiap masjid dilengkapi dengan Bedug dan kentongan sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli, karena bedug dan kentongan hanya ditemukan di Indonesia. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah dan.  
perhatikan gambar sistem macapat berikut :


















C. Akulturasi Budaya Hindu-Budha dan Islam dalam bidang Seni Rupa.
contoh wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam pada seni rupa dapat dilihat pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur) yang berupa susunan bingkai meniru bingkai candi. Pada dinding rumah, makam dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak dan hiasan yang terdapat pada Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan Duwur di Tuban (Jawa Timur). Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya digunakan untuk menghias bangunan makam atau masjid, dan juga menghias dinding-dinding rumah.
perhatikan contoh bentuk akulturasi dalam seni rupa berikut : Kaligrafi

 
















Senin, 23 Januari 2017

Kisah Perjuangan Hilman Hadikusumah

Hilman Hadikusumah

Nama Hilman Hadikusumah bagi masyarakat Lampung khususnya dan bagi dunia pendidikan dan kebudayaan pada umumnya sudah sangat dikenal dan bahkan mungkin dapat dikatakan sangat popular, dari segi pribadinya maupun dari buku-buku yang ditulis buah pemikirannya.
Hilman Hadikusumah atau yang sekarang dikenal dengan Prof. Hilman Hadikusumah, SH. adalah salah seorang tokoh pendiri Universitas Lampung (UNILA), seorang tokoh di bidang pendidikan, keudayaan, hokum, sejarah, agama Islam dan juga di bidang sastra Lampung. Tentu amatlah luas jika harus dipaparkan keseluruhan kemampuan dan kebiasaannya.
Tidak banyak yang tahu bahwa beliau juga salah seorang yang aktif di masa perang kemerdekaan. Kadar dan intensitas perjuangan seeorang bagi negara Republik Indonesia yang kita cintai ini tidaklah dapat diukur dari segi terebut, sebab setiap insan Indonesia yang ikut menyumbangkan dharma bhaktinya bagi terwujudnya negara kita ini adalah pejuang kemerdekaan.
Hilman Hadikusumah mulai aktif di bidang kemiliteran sejak dibentuknya Resimen III di Lampung pada akhir tahun 1945. 
Hilman yang merupakan putera kelahiran Menggala mengenyam pendidikan di HIS (Holland Inlandsche School, sebuah sekolah dengan pengantar berbahasa Belanda) yang memberi bekal kemampuannya memahami buku-buku berbahasa Belanda.
Hilman Hadikusumah lahir pada tanggal 9 Juli 1927, di Menggala dan merupakan putera seorang pegawai gubernuran.
Pendidikannya di HIS ditempuhnya di HIS Gubernemen di Menggala dan kemudian pindah HIS Muhammadiyah di Kotabumi dan kemudian berpindah lagi ke HIS Arjuna di Tanjungkarang.
Ketika zaman Jepang, tidak banyak yang dapat diutarakan dari tokoh ini, karena Hilman baru berusia sekitar 15 tahun. Ketika proklamasi kemerdekaan tangal 17 Agustus 1945, maka mulai aktiflah Hilman dalam perjuangan.
Pada waktu di Lampung Utara dibentuk Batalyon IV di bawah Kapten Masadi (kakak kandung Mayor Sukardi Hamdani) sebagai salah satu Resimen III di Lampung yang terdiri dari 6 Batalyon, maka sejak tanggal 1 Februari 1946 Hilman diangkat sebagai Sersan Klas I pada staf Batalyon IV.
Kemudian pada bulan Maret 1946 Kapten Masadi ditarik ke Resimen sebagai Kepala Bagian Siasat dan Sersan Hilman ikut ke Resimen III.
Sejak Juni 1947 pangkatnya dinaikkan menjadi Sersan Mayor dengan jabatan tetap di bagian intel, di bawah pimpinan Lettu Suparman. Pada waktu Agresi Militer Belanda I di Sumatera Selatan, Hilman di kirim untuk latihan  intel di Tanjung Enim bersama Serma Mirhan dan Letda Hutabarat. Selesai mengikuti latihan Seram Hilman dan Serma Mirhan ditempatkan di Palembang, karena mereka berdua yang bias berbahasa Belanda.
Tugas di Palembang tidak dapat berlanjut, lalu Hilman pulang ke Lampung, karena Palembang saat itu diduduki Belanda.
Pada waktu Agresi 1 Hilman ikut di garis depan di Martapura. Setelah Martapura diduduki Belanda dan tercapai perjanjian Renville, Hilman kemudian ditarik lagi ke Lampung. Kemudian Hilman di tempatkan di Komando Militer Kota (KMK) di bawah pimpinan Mayor NS. Effendy.
Ketika pecah Agresi Militer Belanda II Serma Hilman ikut mundur ke Pringsewu dan di sana bersama Mayor Sukardi Hamdani dan Kapten Masadi membentuk pasukan Tanggamus Barisan yang tidak memiliki basis  yang tetap. Dari Pingsewu menuju ke Ulubelu, Bukit Kemuning terus Menggala. Pada waktu Letnan Adenan gugur disergap Belanda, regu Hilman berada di sana.
Setelah persetujuan Roem-Rojen, regu Hilman ada diTanjung Iman dan kemudian dipindahkan oleh Belanda ke Ketapang, yang merupakan daerah yang dikuasai Republik.
Karir pendidikan dan pekerjaan dimulai di Jakarta sebagai juru tik di kantor Kepolisian. Sambil belajar akhirnya Hilman dapat menamatkan pendidikan SMA nya tahun 1953. Pekerjaannya berpindah-pindah dari Kantor Statistik ke Kantor Kehakiman. Setelah ayahnya meninggal dunia dan Hilman menikah tahun 1957 terus kembali ke Jakarta kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia. Tahun 1959 atas ajakan Nadirsyah Zaini MA. Hilman pulang ke Lampung dan mempersiapkan pendirian Universitas Lampung.
Pekerjaan Hilman berhenti dari Kantor Kehakiman Jakarta dan pindah sebagai Kepala Sekretariat Fakultas Ekonomi Hukum Soial (P3SLF) Lampung.
Hilman banyak berkecimpung dalam mendirikan UNILA, dan dari sinilah yang bersangkutan mendapatkan gelar SH. Sedangkan gelar Profesor ia dapat pada tahun 1985, dan sempat menunaikan ibadah haji di tahun tersebut.
Perjuangan Hilman di bidang politik, kebudayaan, dan pendidikan sangatlah besar. Hingga saat ini karya-karya beliau dalam bentuk buku masih dapat kita nikmati bersama. Dialah salah satu tokoh lokal yang telah berhasil mengharumkan nama Lampung.

Sumber:
Untaian Bunga Rampai Perjuangan di Lampung: Buku Harian Daerah Angkatan ‘45

Rabu, 10 Februari 2016

Kenangan di Tanah Porodisa

Kisah Pengabdian SM-3T:
 
Oleh : Agustin Indra Pratiwi
SM-3T Angkatan III Penempatan Sangihe

Monev II SM-3T UNJ di desa Essang Kampung Lama, Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara.

Jumat 13 September 2013 adalah kali pertama saya beserta rombongan SM-3T UNJ  menginjakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Itupun dalam rangka mengemban tugas sebagai peserta SM3T selama satu tahun ke depan. Tanah Porodisa, Tanah kelahiran, begitulah masyarakat sana menyebutnya. Sempat terbesit di angan-angan, daerah manakah ini. Bahkan saat mencoba untuk menelusurinya di peta hanya tergambarkan oleh sebuah titik kecil saja. Tak terbayangkan sama sekali saya bisa sampai di tempat ini.
Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud pada tahun 2002. Kabupaten Kepulauan Talaud ini terletak di paling utara Provinsi Sulawesi Utara dengan Ibukota di Melonguane yang berada di bagian selatan pulau Karakelang. Termasuk dalam 199 daerah tertinggal dan terisolir di Indonesia. Hal ini dikarenakan keterbatasan infrastruktur dasar, ekonomi, sosial budaya, perhubungan, telekomunikasi, informasi serta pertahanan dan keamanan. Jika dilihat dari komposisi keagamaannya, Kristen Protestan merupakan agama mayoritas yang dianut sebagian besar penduduk Talaud, kemudian diikuti agama minoritas seperti Katolik dan Islam.
Selama kurang lebih satu tahun, saya ditempatkan di Desa Essang Kampung Lama, Kecamatan Essang. Ditemani seorang rekan kerja SM3T dengan tempat pengabdian sekolah dan rumah tinggal yang sama. Sebelumnya sekolah ini belum pernah mendapatkan Guru SM3T, meskipun program ini telah berjalan di tahun ketiga di Kabupaten Kepulauan Talaud. Kepala Sekolah, rekan guru, wali murid, dewan komite, siswa, dan masyarakat sekitar sangat welcome dan cukup baik. Kedatangan kami disambut oleh seluruh warga bahkan tetua adat di sana. Hal ini menunjukkan bahwa ada dukungan dan tanggapan positif dari masyarakat setempat terhadap program SM3T yang sedang berlangsung ini.
Sebagai tenaga pengajar yang masih single, mestinya kami dipanggil “ Enci ” untuk perempuan dan “ Engku ” untuk laki-laki. Sebagai bentuk penghargaan mereka kepada kami yang datang jauh dari Jakarta, maka kami dipanggil Ibu/Bapak Guru, lain dengan Guru SM3T lainnya. Saya ditugaskan di Sekolah Dasar Inpres Essang. Bertolak 180 derajat jika dibandingkan dengan latar belakang saya yang mestinya mengajar di SMP atau SMA. Karna atas dasar pengabdian, dengan lapang dan penuh semangat saya menerimanya sebagai salah seorang tenaga pendidik di Sekolah Dasar. Tak tanggung-tanggung saya langsung ditugaskan sebagai wali kelas 1. Tugas yang cukup berat sekali, karena biasanya untuk mengajar di kelas 1 itu diembankan kepada senior.
SDN Inpres Essang hanya memiliki 3 orang PNS, yaitu seorang Kepala Sekolah (Bpk A.J.L. Halean), Bp Entjaurau selaku guru kelas VI yang tinggal tiga bulan mengajar karna telah purna tugas, dan Ibu Amiman selaku guru kelas V. Adapun guru bantu lainnya yaitu Ibu Derlin Bawimbang selaku guru kelas IV dan Ibu Takahipe sebagai guru Agama. Sangat terkesan ketika mengajar di kelas 1, sementara mereka belum terlalu paham penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa keseharian masih menggunakan bahasa daerah dan campuran Bahasa Manado, yang mana jika dilihat dari tata cara penggunaan Bahasa Indonesia yang benar, bahasanya dibolak balik. Seperti contohnya “Bapak sudah makan?” maka akan menjadi “Su makan Bapak? Atau makan sudah Bapak?”. Jadi rasanya cukup menantang sekali ketika saya harus belajar mengajar di kelas rendah disertai belajar bahasa daerahnya, body language, dan kesabaran tentunya. Minggu pertama-kedua, rasanya kurang lengkap jika sepulang sekolah tanpa menitikkan air mata. It’s okey, orang mengira bahwa mengajar di SD itu mudah. Namun beda ceritanya ketika pengalaman pertama mengajar di SD langsung mendapat kelas rendah dengan bahsa yang sama-sama kurang nyambung. Bener-bener serasa seperti seorang Ibu yang memiliki anak-anak masih kecil. Semua harus mendapatkan perhatian satu-satu tanpa terkecuali.
* * *
Penduduk Talaud, tepatnya di Desa Essang Kampung Lama cukup ramah dan terbuka. Guru di sana sangat dihormati, terlebih kami sebagai pendatang dari Ibukota Jakarta. Tapi jangan heran jika adat, budaya, dan tradisi disana bertolak belakang dengan di Jawa. Kebiasaan dalam merayakan pesta yang bisa menghabiskan waktu seharian suntuk tanpa istirahat, gaya hidupnya yang mengarah pada budaya barat dan sebagainya. Meskipun tak seluruhnya begitu, namun bisa dikatakan mayoritas penduduknya berkarakter demikian. Jika pada umumnya nasi adalah makanan pokok, maka berbeda dengan mereka. Memang mereka makan nasi, akan tetapi ada pengganti nasi yang mereka konsumsi sampai saat ini. Batata, ketela pohon dan sejenisnya. Batata adalah Ubi Jalar. Batata dan saudara-saudaranya itu dimakan dengan sayur dan dabu-dabu, sebagai pengganti nasi. Dabu-dabu itu adalah campuran dari rica, tomat merah, dan bawang merah yang diiris kecil dan tipis serta dicampur dengan sedikit garam dan jeruk lemon. Mungkin untuk kalangan awam itu rasanya aneh. Tapi lama-lama terbiasa makan seperti orang sana pada umumnya. Bahkan sempat menjadi makanan favorit, dan mengalahkan kenikmatan sesuap nasi.
* * *
Mayoritas mata pencaharian penduduk di sana adalah berkebun. Namun ada beberapa juga sebagai nelayan. Talaud merupakan daerah yang kaya akan hasil lautnya. Hanya saja masih bisa dikatakan bahwa negara tetangga, yaitu Filipin lebih menguasai hasil laut tersebut. Tak sedikit ditemukan kapal-kapal berbendera Filipin masuk dengan bebas di dermaga Essang dan beberapa kapal asing bertuliskan nama Indonesia untuk mengelabuhi dan menguasai hasil laut. Pernah suatu saat salah seorang nelayan di Essang membawa hasil tangkapannya yang cukup banyak dalam kapalnya. Hasil tangkapan itu pun dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang berminat. Saking banyaknya, bisa dikatakan setiap rumah mendapat jatah satu karung besar. Saat itu saya ikut memanen dan menikmatinya. Mendapatkan 35 ekor ikan itu termasuk sedikit, tapi cukup banyak untuk persediaan satu bulan ke depan.
Harga kebutuhan pokok seperti beras, sayur-sayuran dan sejenisnya cukup mahal karena stok selalu terbatas, menanti kiriman dari Manado. Terlebih untuk minyak tanah. Karena, mayoritas penduduk masih menggunakan kompor miyak. Tidak hanya itu, sumber air bersih pun tak semua tempat ada. Mati lampu merupakan seperti makanan sehari-hari. Sebab listrik nyala bisa dihitung berapa jam saja dalam sehari. Sinyal pun timbul tenggelam. Pernah hampir 2 bulan hidup tanpa sinyal. Kalaupun ada harus ke dermaga atau kota Melonguane. Bahkan ATM juga hanya ada di kota. Transportasi ke kota pun belum cukup memadai. Jika transportasi bus di Jakarta sudah dilakukan penarikan oleh petugas perhubungan, lain ceritanya di Talaud. Mereka masih tergolong pada transportasi yang tidak layak guna. Meskipun juga ada “ Otto ” atau taksi gelap yang beroperasi, hanya ada di daerah-daerah tertentu yang masih bisa terjangkau. Sementara untuk menembus sebuah daerah yang paling ujung, melalui jalan darat pun harus menerobos aliran sungai yang deras dan jalanan yang sangat-sangat becek dan tidak layak. Salut itu ketika melihat mereka mampu bertahan di sela-sela keterbatasan yang tak terkira sama sekali sebelumnya.
* * *
Jika berbicara mengenai pendidikannya, sudah tentu tertinggal jauh dari kota terlebih di Jawa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan beberapa daerah tertinggal lainnya masih bisa dikatakan cukup baik. Hanya saja terkendala jumlah pendidik yang masih kurang. Karena penyebaran tenaga pendidikannya belum merata di beberapa daerah. Etos kerja tenaga-tenaga pendidik pun juga masih kurang. Terbukti ada banyak sekolah yang mendapat jatah PNS banyak, akan tetapi pengelolaan sekolah baik secara administrasi maupun pelaksanaannya tidak dijalankan sebagaimana mestinya, seperti daftar hadir guru, ketertiban guru dan pemanfaatan waktu KBM. Namun tak dipungkiri ada pula seperti di sekolah tempat saya mengabdi, biarpun PNS hanya 3 orang, administrasi, tata tertib, dan pengelolaan yang berhubungan dengan sekolah cukup baik.
Anak-anak di tempat saya mengabdi sangat baik dan antusias belajar. Alhamdulilah dengan kedatangan kami cukup membantu dan membawa perubahan sistem pembelajaran ke arah yang positif. Meskipun belum bisa dikatakan sempurna, namun setidaknya ada perubahan-perubahan baik yang perlu ditingkatkan lagi. Seperti contohnya yang sebelumnya Upacara Bendera Hari Senin tidak pernah ada, maka upacara pun akhirnya diadakan. Apel setiap pagi berjalan lancar. Budaya cium tangan kepada guru saat pagi dan sepulang sekolah, semakin tertib. Siswa sekolah mengenakan seragam dengan rapi. Semakin tertibnya kedatangan siswa ke sekolah. Berkurngnya kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Serta administrasi kelas dan sekolah yang semakin tertib.
Sementara yang lebih merindukan adalah ketika para siswa menanti kedatangan saya. Mereka selalu menunggu dan menyambut saya di pintu gerbang sekolah. “ Ibu so datang, Ibu so datang! “ kata-kata itu hingga kini masih terngiang dalam ingatan saya. Lalu satu-persatu mereka akan mencium tangan. Selanjutnya mereka akan bergegas ambil barisan untuk melaksanakan apel pagi. Itulah rutinitas yang saya nikmati sebagai guru disini.
Di luar jam pelajaran sekolah, mereka hampir setiap hari datang ke rumah untuk belajar tambahan. Kedatangannya tidak jarang dengan membawakan buah-buahan. Itu dilakukan setiap sore sepulang sekolah. Selain belajar terkadang mereka mengajak saya untuk bermain di dermaga atau jalan-jalan untuk mengitari desa. Hal itu sungguh menyenangkan sekali. Kenangan  itu sungguh tidak terlupakan. Maka suatu saat nanti saya dapat bertemu kembali dengan mereka. Tentunya dengan melihat kesuksesan mereka yang saya sebut matahari kecilku. Terima kasih Essang. Terima kasih Talaud, Tanah Porodisa. Terima kasih SM-3T. Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. ( Jakarta, 02/02/2016 )


Awal kedatangan di Bandara Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud-Sulawesi Utara

Apel Pagi di SDN Inpres Essang


Menanti senja di Dermaga Essang