Kisah Pengabdian SM-3T:
Oleh : Agustin Indra
Pratiwi
SM-3T Angkatan III Penempatan Sangihe
Monev II
SM-3T UNJ di desa Essang Kampung Lama, Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi
Utara.
Jumat 13 September 2013
adalah kali pertama saya beserta
rombongan SM-3T UNJ menginjakkan kaki di Kabupaten Kepulauan
Talaud, Sulawesi Utara. Itupun dalam rangka mengemban tugas sebagai peserta
SM3T selama satu tahun ke depan. Tanah Porodisa, Tanah kelahiran, begitulah
masyarakat sana menyebutnya. Sempat
terbesit di angan-angan, daerah manakah ini. Bahkan saat mencoba untuk
menelusurinya di peta hanya tergambarkan oleh
sebuah titik
kecil saja. Tak terbayangkan sama
sekali saya bisa sampai di tempat ini.
Kabupaten Kepulauan Talaud
merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud pada tahun 2002.
Kabupaten Kepulauan Talaud ini terletak di paling utara Provinsi Sulawesi Utara
dengan Ibukota di Melonguane yang berada di bagian selatan pulau Karakelang.
Termasuk dalam 199 daerah tertinggal dan terisolir di Indonesia. Hal ini
dikarenakan keterbatasan infrastruktur dasar, ekonomi, sosial budaya,
perhubungan, telekomunikasi, informasi serta pertahanan dan keamanan. Jika
dilihat dari komposisi keagamaannya, Kristen Protestan merupakan agama
mayoritas yang dianut sebagian besar penduduk Talaud, kemudian diikuti agama
minoritas seperti Katolik dan Islam.
Selama kurang lebih satu tahun, saya ditempatkan di Desa Essang Kampung Lama, Kecamatan
Essang. Ditemani seorang rekan kerja SM3T dengan
tempat pengabdian sekolah dan rumah tinggal yang sama. Sebelumnya
sekolah ini belum pernah mendapatkan Guru SM3T,
meskipun program ini telah berjalan di tahun
ketiga di Kabupaten Kepulauan Talaud. Kepala
Sekolah, rekan guru, wali murid, dewan komite, siswa, dan masyarakat sekitar
sangat welcome dan cukup baik. Kedatangan kami disambut oleh seluruh warga bahkan tetua adat di sana. Hal ini
menunjukkan bahwa ada dukungan dan tanggapan positif dari masyarakat setempat terhadap program SM3T yang sedang berlangsung ini.
Sebagai
tenaga pengajar yang masih single, mestinya
kami dipanggil “ Enci ” untuk perempuan dan “ Engku ” untuk laki-laki. Sebagai
bentuk penghargaan mereka kepada kami yang datang jauh dari Jakarta, maka kami
dipanggil Ibu/Bapak Guru, lain dengan Guru SM3T lainnya. Saya ditugaskan di
Sekolah Dasar Inpres Essang. Bertolak 180 derajat jika dibandingkan dengan
latar belakang saya yang mestinya mengajar di SMP atau SMA. Karna atas dasar
pengabdian, dengan lapang dan penuh semangat saya menerimanya sebagai salah
seorang tenaga pendidik di Sekolah Dasar. Tak tanggung-tanggung saya langsung
ditugaskan sebagai wali kelas 1. Tugas yang cukup berat sekali, karena biasanya
untuk mengajar di kelas 1 itu diembankan kepada senior.
SDN
Inpres Essang hanya memiliki 3 orang PNS, yaitu seorang Kepala Sekolah (Bpk A.J.L. Halean), Bp Entjaurau selaku guru kelas VI yang tinggal tiga bulan mengajar
karna telah purna tugas,
dan Ibu Amiman selaku guru
kelas V. Adapun guru bantu lainnya
yaitu Ibu Derlin
Bawimbang selaku guru kelas IV dan Ibu
Takahipe sebagai guru Agama. Sangat terkesan ketika mengajar di kelas 1, sementara
mereka belum terlalu paham penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa keseharian masih menggunakan bahasa daerah dan campuran Bahasa Manado,
yang mana jika dilihat dari tata cara penggunaan Bahasa Indonesia yang benar,
bahasanya dibolak balik. Seperti contohnya “Bapak sudah makan?” maka akan
menjadi “Su makan Bapak? Atau makan sudah Bapak?”. Jadi rasanya cukup menantang
sekali ketika saya harus belajar mengajar di kelas rendah disertai belajar
bahasa daerahnya, body language, dan
kesabaran tentunya. Minggu pertama-kedua, rasanya kurang lengkap jika sepulang
sekolah tanpa menitikkan air mata. It’s
okey, orang mengira bahwa mengajar di SD itu mudah. Namun beda ceritanya
ketika pengalaman pertama mengajar di SD langsung mendapat kelas rendah dengan
bahsa yang sama-sama kurang nyambung. Bener-bener serasa seperti seorang Ibu
yang memiliki anak-anak masih kecil. Semua harus mendapatkan perhatian
satu-satu tanpa terkecuali.
* * *
Penduduk
Talaud, tepatnya di Desa Essang Kampung Lama cukup ramah dan terbuka. Guru di
sana sangat dihormati, terlebih kami sebagai pendatang dari Ibukota Jakarta.
Tapi jangan heran jika adat, budaya, dan tradisi disana bertolak belakang dengan
di Jawa. Kebiasaan dalam merayakan pesta yang bisa menghabiskan waktu seharian
suntuk tanpa istirahat, gaya hidupnya yang mengarah pada budaya barat dan
sebagainya. Meskipun tak seluruhnya begitu, namun bisa dikatakan mayoritas
penduduknya berkarakter demikian. Jika pada umumnya nasi adalah makanan pokok,
maka berbeda dengan mereka. Memang mereka makan nasi, akan tetapi ada pengganti
nasi yang mereka konsumsi sampai saat ini. Batata, ketela pohon dan sejenisnya.
Batata adalah Ubi Jalar. Batata dan saudara-saudaranya itu dimakan dengan sayur
dan dabu-dabu, sebagai pengganti nasi. Dabu-dabu itu adalah campuran dari rica,
tomat merah, dan bawang merah yang diiris kecil dan tipis serta dicampur dengan
sedikit garam dan jeruk lemon. Mungkin untuk kalangan awam itu rasanya aneh.
Tapi lama-lama terbiasa makan seperti orang sana pada umumnya. Bahkan sempat
menjadi makanan favorit, dan mengalahkan kenikmatan sesuap nasi.
* * *
Mayoritas
mata pencaharian penduduk di sana adalah berkebun. Namun ada beberapa juga sebagai
nelayan. Talaud merupakan daerah yang kaya akan hasil lautnya. Hanya saja masih
bisa dikatakan bahwa negara tetangga, yaitu Filipin lebih menguasai hasil laut
tersebut. Tak sedikit ditemukan kapal-kapal berbendera Filipin masuk dengan
bebas di dermaga Essang dan beberapa kapal asing bertuliskan nama Indonesia
untuk mengelabuhi dan menguasai hasil laut. Pernah suatu saat salah seorang
nelayan di Essang membawa hasil tangkapannya yang cukup banyak dalam kapalnya.
Hasil tangkapan itu pun dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang berminat.
Saking banyaknya, bisa dikatakan setiap rumah mendapat jatah satu karung besar.
Saat itu saya ikut memanen dan menikmatinya. Mendapatkan 35 ekor ikan itu
termasuk sedikit, tapi cukup banyak untuk persediaan satu bulan ke depan.
Harga
kebutuhan pokok seperti beras, sayur-sayuran dan sejenisnya cukup mahal karena
stok selalu terbatas, menanti kiriman dari Manado. Terlebih untuk minyak tanah.
Karena, mayoritas penduduk masih menggunakan kompor miyak. Tidak hanya itu,
sumber air bersih pun tak semua tempat ada. Mati lampu merupakan seperti
makanan sehari-hari. Sebab listrik nyala bisa dihitung berapa jam saja dalam
sehari. Sinyal pun timbul tenggelam. Pernah hampir 2 bulan hidup tanpa sinyal.
Kalaupun ada harus ke dermaga atau kota Melonguane. Bahkan ATM juga hanya ada
di kota. Transportasi ke kota pun belum cukup memadai. Jika transportasi bus di
Jakarta sudah dilakukan penarikan oleh petugas perhubungan, lain ceritanya di
Talaud. Mereka masih tergolong pada transportasi yang tidak layak guna.
Meskipun juga ada “ Otto ” atau taksi gelap yang beroperasi, hanya ada di
daerah-daerah tertentu yang masih bisa terjangkau. Sementara untuk menembus
sebuah daerah yang paling ujung, melalui jalan darat pun harus menerobos aliran
sungai yang deras dan jalanan yang sangat-sangat becek dan tidak layak. Salut
itu ketika melihat mereka mampu bertahan di sela-sela keterbatasan yang tak
terkira sama sekali sebelumnya.
* * *
Jika
berbicara mengenai pendidikannya, sudah tentu tertinggal jauh dari kota
terlebih di Jawa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan beberapa daerah
tertinggal lainnya masih bisa dikatakan cukup baik. Hanya saja terkendala
jumlah pendidik yang masih kurang. Karena penyebaran tenaga pendidikannya belum
merata di beberapa daerah. Etos kerja tenaga-tenaga pendidik pun juga masih
kurang. Terbukti ada banyak sekolah yang mendapat jatah PNS banyak, akan tetapi
pengelolaan sekolah baik secara administrasi maupun pelaksanaannya tidak
dijalankan sebagaimana mestinya, seperti daftar hadir guru, ketertiban guru dan
pemanfaatan waktu KBM. Namun tak dipungkiri ada pula seperti di sekolah tempat
saya mengabdi, biarpun PNS hanya 3 orang, administrasi, tata tertib, dan
pengelolaan yang berhubungan dengan sekolah cukup baik.
Anak-anak
di tempat saya mengabdi sangat baik dan antusias belajar. Alhamdulilah dengan
kedatangan kami cukup membantu dan membawa perubahan sistem pembelajaran ke
arah yang positif. Meskipun belum bisa dikatakan sempurna, namun setidaknya ada
perubahan-perubahan baik yang perlu ditingkatkan lagi. Seperti contohnya yang
sebelumnya Upacara Bendera Hari Senin tidak pernah ada, maka upacara pun
akhirnya diadakan. Apel setiap pagi berjalan lancar. Budaya cium tangan kepada
guru saat pagi dan sepulang sekolah, semakin tertib. Siswa sekolah mengenakan
seragam dengan rapi. Semakin tertibnya kedatangan siswa ke sekolah. Berkurngnya
kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Serta
administrasi kelas dan sekolah yang semakin tertib.
Sementara
yang lebih merindukan adalah ketika para siswa menanti kedatangan saya.
Mereka selalu menunggu dan menyambut saya di pintu gerbang sekolah. “ Ibu so datang, Ibu so datang! “ kata-kata
itu hingga kini masih terngiang dalam ingatan saya. Lalu satu-persatu mereka akan mencium
tangan.
Selanjutnya mereka akan bergegas ambil barisan
untuk melaksanakan apel pagi. Itulah
rutinitas yang saya nikmati sebagai guru disini.
Di luar jam pelajaran
sekolah, mereka hampir setiap hari datang ke rumah untuk belajar
tambahan. Kedatangannya
tidak jarang dengan membawakan
buah-buahan. Itu dilakukan setiap sore sepulang sekolah. Selain belajar terkadang mereka mengajak saya untuk bermain di dermaga atau jalan-jalan untuk mengitari desa. Hal itu sungguh menyenangkan sekali. Kenangan itu sungguh tidak terlupakan. Maka suatu saat nanti saya dapat bertemu
kembali dengan mereka. Tentunya dengan melihat kesuksesan mereka yang saya sebut matahari
kecilku. Terima kasih Essang. Terima kasih Talaud,
Tanah Porodisa. Terima kasih SM-3T. Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. ( Jakarta,
02/02/2016 )
Awal kedatangan
di Bandara Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud-Sulawesi Utara
Apel Pagi di SDN
Inpres Essang
Menanti senja di Dermaga Essang