Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) telah membawaku ke desa ini. Desa Patal namanya, sebuah desa terpencil yang letaknya di pedalaman Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara. Dengan penduduk sekitar enam puluhan kepala keluarga, desa yang terletak dipinggiran sungai sembakung ini dihuni oleh 100% suku Dayak agabag. Akses masuk ke desa yang hanya bisa dilalui dengan menggunakan perahu kecil, terkadang cukup menyulitkan saya dan teman-teman sepenempatan untuk menuju pusat kecamatan. Benar saja…. Karena memang tidak ada jalan darat yang dapat dilalui untuk sampai di desa ini. Kereeeeenn.. ini pasti bakal jadi pengalaman yang luar biasa, pikirku ketika sampai di tempat ini pertama kali. Memang agak sedikit kurang percaya, cerita-cerita yang ada dalam film yang pernah saya tonton yang mengisahkan perjuangan orang-orang hebat di daerah pedalaman untuk berjuang atas nama pendidikan dan kemanusiaan, ternyata saya sendiri akan mengalaminya.
Hampir setiap menjelang akhir pekan di hari Jumat,
biasanya kami harus pergi ke kecamatan berbelanja persediaan logistik untuk
persediaan makanan selama satu minggu kedepan sekaligus menunaikan shalat
Jumat. Penduduk Desa patal memang dihuni oleh keseluruhan warga nonmuslim, jadi
untuk menjalankan shalat Jumat kami harus menempuh perjalanan sekitar satu jam
dengan menggunakan ketingting, yaitu
istilah warga setempat untuk menyebut kendaraan perahu kecil dengan kapasitas
penumpang 4-5 orang yang digerakkan dengan menggunakan tenaga mesin berkapasitas
10-15 PK. Kebetulan saat kami datang ke tempat ini, sekolah kami baru saja
mendapatkan infentaris ketingting dari dinas pendidikan sebagai fasilitas
kendaraan guru-guru di sekolah SMP kami. Jadi kendaraan inilah yang senantiasa
setia mengantarkan kami selama satu tahun di penempatan, kami hanya cukup
membeli bahan bakar bensin dan selanjutnya pak Situl (penjaga sekolah) atau
Yandi (anak pak Situl) yang menjadi juru kemudinya.
Sedikit gambaran, untuk menuju ke pusat kabupaten
Nunukan, kami harus menempuh perjalanan yang cukup menyita waktu. Dari desa
Patal kami harus ke pusat kecamatan terlebih dahulu dengan menaiki Ketingting
sekitar satu jam, setelah sampai di kecamatan kami harus menuju pelabuhan
Pemliangan yang lama tempuhnya dari pusat kecamatan sekitar 4-5 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan darat
(travel). Setibanya di pelabuhan Pemliangan, untuk sampai di pusat kabupaten
perjalanan masih harus dilanjutkan dengan menaiki kendaraan speed boat sekitar 4-5 jam. Jadi untuk menuju
pusat kabupaten saja kami membutuhkan waktu hampir seharian. Butuh tenaga
ekstra bagi orang-orang seperti kami yang baru mengenal daerah ini kala itu.
Kembali ke Desa Patal….
Di desa inilah kami memulai cerita sebagai tenaga
pendidik, tepatnya di SMP Negeri 2 Lumbis. Walaupun menyandang status sebagai
sekolah negeri, namun keadaan fisik sekolah ini
dapat dikatakan jauh dari kata layak. Sekolah yang terdiri atas lima
ruangan dengan bangunan berbentuk panggung dan berdiri di atas bukit Desa Patal
ini memiliki jumlah siswa yang tidak
lebih dari 36 orang. Dengan fasilitas seadanya, kami mencoba memfasilitasi
mereka untuk belajar mengenal pengetahuan layaknya siswa pada umumnya. Memang
kondisi ini tidak mudah… tidak mudah bagi mereka, juga tidak mudah bagi kami. Sebagai
contoh, saya mendapatkan jadwal mengajar mata pelajaran TIK (kurikulum KTSP),
seperti yang kita ketahui mata pelajaran TIK akan menjadi sangat mudah
diajarkan kepada siswa apabila sekolah memiliki fasilitas komputer, karena kita
bisa menjelaskan kemudian mereka mempraktikan secara langsung. Namun ceritanya
akan berbeda apabila kita mengajar mata pelajaran TIK, sedangkan bentuk
komputer saja mereka belum tahu wujudnya seperti apa. Bisa dibayangkan kita
hanya menjelaskan tentang konsep-konsep tanpa praktik, yang ada justru membuat
mereka semakin bingung.
sudut jendela ruang guru, tempat kami mencari signal
Tenaga pengajar SM-3T di sekolah ini ada tiga orang,
saya bersama dua teman saya Wahyu dan Septika masing-masing berasal dari
jurusan yang berbeda. Di sekolah ini kami diberikan tugas untuk mengampu 4-6 mata pelajaran setiap
orangnya. Tugas yang cukup berat bagi seorang guru pemula seperti kami, namun
ini adalah bagian konsekuensi pilihan. Kami mencoba untuk menikmatinya,
walaupun kami harus belajar cukup ekstra dalam mempersiapkan pembelajaran.Kami beruntung
di sekolah ini masih bisa menemukan signal HP, walaupun hanya satu atau dua
signal. Itupun hanya ada di sudut jendela ruang guru, itulah satu-satunya
tempat di desa ini yang kebetulan terjangkau oleh jaringan, sedikit saja HP kita bergeser hampir
dipastikan signalnya pun ikut hilang. Namun setidaknya kami benar-benar
bersyukur karena bisa berkomunikasi dan berkirim kabar dengan keluarga atau
teman-teman di luar sana. Memang mengharukan, tapi justru itulah kenangan yang
mungkin sulit kami lupakan. Satu hal yang unik ketika di sekolah, kami (guru) dan
seluruh siswa di sekolah ini ketika hari Jumat selalu membawa Mandau, istilah
warga setempat untuk menyebut parang atau golok khas Kalimantan. Kami
mewajibkan semua siswa untuk membawa alat tersebut untuk kami pergunakan membersihkan
rumput-rumput liar yang tumbuh begitu subur di sekitar halaman sekolah. Wajar
saja… halaman sekolah kami memang kurang terawat, semingu saja tidak
dibersihkan, maka rumput-rumput liarpun akan tinggi menjulang. Oleh sebab itu,
kami harus rutin membersihkannya. Tidak jarang kegiatan pembelajaran di hari
Jumat kami abaikan, kami fokus membersihkan lingkungan sekolah, merawat halaman
sekolah agar terlihat lebih layak disebut sebagai lingkungan tempat belajar.
video ketika melakukan bersih-bersih rutin setiap hari Jumat
Ketika pulang sekolah, untuk menyibukkan diri kami
biasanya berkebun, sekedar menanam kacang panjang, terong, atau sayur-sayuran
lainnya sembari menunggu waktu sore tiba. Memanfaatkan lahan kosong di samping
dan belakang rumah kami. Memang tidak luas, namun cukup lumayan kalau
dimanfaatkan daripada dibiarkan tidak terawat. Ternyata hasilnya cukup
melimpah…. Terlalu banyak hasil kebun apabila untuk kami nikmati sendiri, oleh
sebab itu kami biasanya membagi-bagikan hasil kebun kepada tetangga-tetangga
sebelah, atau biasanya kami bagikan kepada teman-teman sesama SM-3T yang ada di
kecamatan.
Ketika malam tiba, seperti biasa kami selalu
memanfaatkan waktu untuk membuka laptop.. mengerjakan tugas, bermain game, atau
terkadang hanya sekedar nonton film bareng. Keterbatasan listrik memang
benar-benar membatasi kinerja kami di depan laptop, wajar saja… karena di desa
ini memang belum ada aliran listrik dari
pemerintah, jadi kami hanya menggunakan listrik tenaga mesin diesel yang
berasal dari rumah warga, dengan membayar lima ribu rupiah setiap sore sebagai
uang iuran untuk membeli bahan bakar solar atau bensin, kami diberikan imbalan
berupa hak untuk menikmati fasilitas listrik, walaupun cuma sebentar yaitu
menyala mulai pukul 18.00 WITA dan kemudian padam sekitar pukul 21.00 WITA.
Tapi setidaknya itulah satu-satunya hiburan yang bisa kami nikmati ketika malam
hari di penempatan.
Pengalaman ini benar-benar mengajarkan kepada saya
tentang perjuangan dan kesederhanaan. toleransi yang diberikan masyarakat setempat
kepada orang-orang pendatang seperti kami patut mendapatkan apresiasi.. rasa
takut dan was-was yang dulu pernah saya rasakan sebelum tiba di daerah ini,
ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang saya alami. Mereka benar-benar menunjukkan sikap terbuka,
walaupun terkadang kami terkendala dengan bahasa untuk berkomunikasi,
setidaknya dari ekspresi yang saya tangkap mereka menerima dengan senang hati
kehadiran kami…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar