Senin, 08 Februari 2016

Why Me..???

Kisah pengabdian SM-3T: 

Oleh Victory Luhur Nugroho, S. Pd.
SM-3T Penempatan Kabupaten Jayawijaya (Prov. Papua) 





”Tuut tuuut tuuuut…. Assalamualaikum, Pak dos pundi kabar e? Sehat sedoyo?” tanya seorang pemuda lewat handphone kepada orang tuanya.
”Waalaikumsalam, Alhamdulillah sehat kabeh Ho. Awak mu piye? Ngajar e lancar?” tanya seorang orang tua yang menanyakan kabar anaknya di tanah rantau Kalimantan.
”Alhamdulillah sehat Pak. Ngajar e nggih lancar. Pak, tahun niki wonten pendafataran SM3T angkatan ke-3. Menawi diparengaken kulo badhe melok tes dateng Universitas Mulawarman” tanya anak kepada orang tuanya untuk meminta izin mengikuti sebuah program.
”Lha trus leh mu ngajar piye? Opo arep kok tinggal? Ra eman-eman Ho” tegas seorang orang tua kepada anaknya.
Insayaallah pak, pun kulo niat i wiwit lulus kuliah, menawi pun lulus badhe melok program SM3T. Sak niki menawi pengen dados guru kedah gadhah sertifikat pendidikan profesi. Mangke sak wancine tumut SM3T angsal beasiswa Pendidikan Profesi Guru saking Dikti setunggal tahun“ ucap seorang anak yang meyakinkan orang tuanya agar diberi izin.


***


Sepenggal percakapan seorang anak yang minta izin kepada orang tuannya untuk mengejar cita-citanya menjadi guru profesional. Memang tak mudah untuk meninggalkan pekerajaan, meninggalkan kawan, meninggalkan kenangan, meninggalkan tanah rantauan Kalimantan.


13 September 2013, Bandar Udara Internasional Sepinggan
Teringat cerita guru IPS waktu SD, Pak Suyono namanya. Beliau bercerita tentang Puncak Cartenz yang ada di pegunungan Jayawijaya, yang kala itu masih menjadi bagian Kabupaten Jayawijaya provinsi Papua. Puncak tertinggi di Indonesia. Satu-satunya puncak di Indonesia yang memiliki salju abadi. Seperti mimpi, apakah aku akan ke sana, Jayawijaya?
Malam pukul 19:00 WITA goes to Bandar Udara Sultan Hassanudin Makassar. Satu jam perjalanan sekitar pukul 20:00 WITA sampai di Bandar Udara Sultan Hassanudin Makassar.


”Kita harus transit dulu sampai besok pagi..!” kata pak Herman, selaku pendamping 34 peserta SM3T Universitas Mulawarman tujuan Kabupaten Jayawijaya.
Huaaaaa… terpaksa karena adanya kesalahan jadwal pesawat menuju Bandar Udara Sentani,  kita harus menginap satu malam di Bandar Udara Sultan Hassanudin Makassar. Ku kira perjalanan perjalanan malam yang menyenangkan menuju tanah Papua. Akhirnya kita harus transit juga. Ada kawan yang mondar mandir untuk mencari sumber listrik, karena batrei handphonnya sudah habis. Ada juga kawan yang duduk dan tidur untuk membunuh waktu. Akupun mulai bingung untuk mencari tempat istirahat. Akhirnya ku putuskan untuk istirahat di mushola bandara.


14 September 2013, Bandar Udara Sentani Jayapura
”Landing take position” suara yang ku dengar dari speker kabin pesawat.


Alhamdulillah... Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ku injakkan kaki tenjang ku di tanah Papua. Tanah yang berada di ujung paling timur Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Tanah yang katanya mempunyai sejuta keunikan, tanah yang berdomisilikan mutiara-mutiara hitam bangsa.
Sebelum terbang ke Kabupaten Jayawijaya, pasukan biru-biru bermalam di Sentani sambil mengistirahatkan badan. Terjadi perdebatan kecil karena over bagasi yang terjadi Balikapapan dan Makassar. Ada bebrapa teman yang tidak terima karena ikutan bayar over bagasi, padahal barang yang dibawa tidak melebihi 20 kg. sebagai warga negara yang mengamalkan sila ke-4, kita bermusyawarahkan untuk menyelesaikan masalah ini. Keputusannya adalah dengan cara menimbang barang yang dibawa masing-masing peserta yang dibagasikan. Waaaah… wahh kena over bagasi deh Rp. 180.000,-, tak apalah demi kebaikan bersama.

***


15 September 2013, Bandar Udara Wamena Jayawijaya
Perjalanan luar biasa untuk sampai ke Kabupaten Jayawijaya. Hamparan langit, gunung, dan lautan Indonesia menghiasi perjalanan ku untuk sampai ke sana. Hanya ada satu jalan menuju Kabupaten Jayawijaya, yaitu ditempuh menggunakan pesawat Trigana Air, itu pun kita harus melewati jalan di antara dua tebing gunung. Jika pilot salah memilih jalan… Innalillahi hue hehehe . Sebelum berangkat kusempatkan untuk menghubungi keluarga di Jawa dan Kalimanatan, sambil memberi kabar bahwa hari ini akan berangkat dari Jayapura ke Jayawijaya. Dan meminta doa agar diberi keselamatan selama 45 menit perjalanan udara yang menegangkan.
Eeehh eeeeh Alhamdulillah ku ucapkan karena cuaca yang cerah di langit tanah Papua. Itu berarti tidak ada awan Colombus yang menghalangi pandangan pilot saat terbang.


            Di bawa kemana ini?”, tanyaku dalam hati setelah melihat hutan belantara dan gunung di bawah. Tidak nampak pemukiman sama sekali.
            Tepuk pipi! Ahh sakit”, ternyata bukan mimpi.


Akhirnya Trigana Air mendarat juga di Lembah Balliem, sebutan untuk Lembah di Pegunungan Tengah Wamena. Luar biasa pemandangan alam di sini. “I feel my soul” seakan-akan aku bisa merasakan jiwa ku. Ku hirup udara segar, hembusan angin yang semilir di antara gunung yang mengelilingi luasnya Lembah Balliem. Pertama kalinya melihat orang berkoteka, berjabat tangan dan foto bersama. Sepintas ada pikiran apakah aku nanti hidup dengan orang koteka selama setahun ke depan?
            Haaaai kawan, ternyata Wamena tidak sepedalaman yang kubayangkan, ternyata di sini banyak mobil-mobil mewah, banyak pendatang dari Jawa juga. Eh, ada mall juga. Orang bilang belum bisa dikatakan ke Papua kalau belum ke Wamena. Betul, karena akses satu-satunya untuk ke Wamena hanyalah pesawat udara. Semua barang-barang dan kebutuhan masyarakat di Wamena diangkut dengan pesawat. Wajarlah kalau di sini harga semua barang-barang kebutuhan selangit. 10 menit perjalanan, akhirnya kami sampai d Bethesda, tempat penginapan kami sementara sebelum menuju tempat tugas.


22 September 2013, Wamena Jayawijaya
Perintah tugas turun, kami harus berpisah dengan teman yang lain.


“Victory Luhur Nugroho, tempat tugas SMP YPPK Santo Thomas Wamena”, seru Pak Bambang selaku Sekertaris Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Jayawijaya. Dimanapun ditempatkan harus siap. Itulah janji yang ku ucapkan sebelum berangkat ke tanah pengabdian.


Kawan, tanpa sangka di sini ada keluarga yang sangat baik. Aku dan temanku dari Universitas Negeri Malang, Herlina Agustin namanya yang sering kupanggil dengan ”ndul” diberi tempat tinggal, bahkan menganggapku sebagai seorang anak. Dalam lingkungan yang hangat penuh canda tawa, di sanalah akan ku habiskan detik waktuku setahun ke depan. Di rumah keluarga Bapak Paidi.


***


Bapak guru, Bapak guru dari Jawa e?” Tanya seorang murid kepada ku
Iya nak, Bapak dari Jawa, dari Kabupaten Trenggalek, bersebelahan dengan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur” jawabku kepada anak itu seraya memberi informasi dari mana aku berasal. Maklum Kabupaten ku belum terkenal seperti Kabupaten sebelah. Sehingga ditanya oleh orang asing, pasti ku jawab seperti itu.
”Bapak guru, di Jawa itu seperti apa? Sa mo ke  Jawa Bapak Guru, sa mo sekolah di sana, dan menikah dengan orang Jawa. Klo menikah dengan orang Jawa tidak bayar babi tho Bapak Guru” pertanyaan yang disambut tawa oleh anak murid yang ikut bercakap di sekeliling ku
”Iya Bapak Guru, menikah disini mahal mo. Harus bayar dengan babi. Klo di jawa tidak tho” celetuk siswa yang lain.
Aku pun ikut tertawa bersama mereka. Bahkan pertanyaan yang ku anggap aneh sesekali muncul, seperti bagaimana bentuk genteng, berapa harga bensi, berapa harga babi, Hari-hari terus berlalu, anak muridku di sini sangat lucu-lucu, dengan khas bulu mata yang lentik, kulit eksotis, rambut keritingnya, dan dengan logat bahasa yang unik.
Terkadang aku ingin memliki rambut seperti mereka. Rambut yang bisa dianyam, biar kayak oang-orang Papua hehehe. Di sini aku sangat menikmati hari-hariku bersama anak murid. Selalu ada tawa di wajah manisnya, meskipun materi yang ku ajarkan harus diulang tiga sampai empat kali agar mereka memahami. Ada anak murid yang berjalan kaki hampir satu atau dua jam untuk sampai ke sekolah. Dengan seragam yang ku pikir sudah tidak pantas mereka pakai. Mereka tetap semangat untuk belajar. Melihat semangat belajar mereka yang tinggi, semangat mengajar pun kian terpupuk. Suatu saat nanti aku yakin pasti ada Presiden Indonesia yang berasal dari Papua
            Sesuatu yang kita kerjakan, kita lakukan dengan ikhlas, Insyallah akan terasa nikmat. Enam bulan bukanlah waktu yang singkat bersama keluarga SMP YPPK Santo Thomas Wamena. Mungkin selama setahun nanti aku tak akan bisa membuat pintar atau mengubah cara berpikir mereka. Namun setidaknya aku disini bisa melukiskan sedikit kenangan indah untuk mereka para mutiara hitam bangsa. Senyum hangat mereka kepada gurunya tak kan pernah pudar. Di sinilah aku benar-benar merasakan sangat dihormati sebagai pendidik. Sepanjang jalan, tak pernah merasa sendiri, selalu ada senyum sapaan yang terdengar si telinga. Tidak hanya anak murid, tapi sapaan itu selalu terdengar mulai dari tukang becak, tukang ojek, sopir angkot, hingga mama-mama yang jualan di pasar. Serentetan aktifitas kegiatan kemasyarakatan aku lakukan.

***


28 Juli 2014, Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriah
”Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar, Laa ilaaha illallahu wallahu akbar, Allahu akbar walillaahil hamd”. Terdengar suara takbir saling sahut menyahut di Lembah Balliem.
”Tuuuut… tuuuut… tuuuut… tuuuut…” Sekitar pukul 05:00 WIT ku hubungi keluargaku di Jawa, seakan tak ada yang menjawab telfonku. Dalam pikir ku, orang tua ku masih terlelap dalam tidurnya. Memang selisih waktu yang berbeda dua jam antara Papua dan Jawa.
”Tuuuut… tuuuut… tuuuuuut… Hallo, Assalamualaikum”. Ku hubungi lagi setelah selesai Sholat Idul Fitri. Alhamdulillah ada jawaban yang ku rindu dari tadi pagi.
”Waalaikumsalam, dos pundi kabar e pak?” Jawabku langsung menanya kabar dengan nada terbata.
”Alhamdulillah apik, awkamu piye Ho? Mau jek turu kabeh, lha telfon kok jam telu subuh” terdengar suara nan jauh di sana.
“Alhamdulillah sae, Pak,… nyuwun ngapura menawi kula gadah salah dateng njenengan, derang saget maringi napa-napa Pak, dereng saget dados anak ingkang berbakti”. Itu lah yang keluar dari mulut ku sambil menahan air mata.
Kawand, hari ini tak seperti hari pada tahun-tahun yang lalu. Bagi ku Hari Raya Idul Fitri yang luar biasa, jauh dari orang tua. Hanya permintaan maaf dan terimaskasih yang bisa kuucapkan kepadanya. Di Wamena toleransi umat beragama sangat dijunjung tinggi. Mayoritas penduduk di Wamena adalah non-muslim, jadi hanya ada beberapa masjid yang mengumandangkan takbir. Aktifitas tak berlangsung seperti biasa. Aku dan keluarga Bapak Paidi bersiap-siap untuk Sholat Ied di Masjid Agung Wamena, yang juga dikenal dengan Masjid Baiturrahman.

***


30 Agustus 2014, Go Home
… Oh kasih ku, tiba saatnya berpisah
Ulurkan tangan manis mu, dan peluklah diriku
Sebentar lagi ko tinggalkan daku
Bunga yang ku berikan
Ko bawa pulang sebagai tanda mata
Kalung emas yang ku berikan mewakili sebagai tanda kasih
Sungguh sedih hati ku ini
Bagai sejarah kita di lembah Balliem
Ko baliklah dengan senyum simpu mu
Sebagai tanda perpisah di Kota Dingin ini
Dan tak lupa, lambaikan tangan mu
Saya juga, tara tau kapan kapan kapan kapan
Kapan dan di mana kita jumpa lagi


Lagu yang masih terngiang di kepala ku, suara nyayian anak-anak Lembah Balliem yang mengiringi kepergian ku dari tanah Papua.  Sejuta kenangan terukir di sana. Dengan berjalannya waktu, bagai panah yang terlepas dari anak busurnya. So, why me, bukan dia atau mereka? Karena semua ini bukanlah suatu kebetulan, ALLOH lah yang sudah menakdirkan ku harus ke Papua. Ku titipkan tanah Papua ini kepada kalian anak-anak murid ku. Jangan sampai para penjajah merebut kemerdekaan mu. Tetaplah menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bisa bersamamu selama ini adalah anugerah terindah. Selamat berpisah, maaf dan terimakasih dari Bapak Guru mu, Victory Luhur Nugroho.

***


Terimaksih kepada ALLOH SWT, orang tua ku, Keluarga Bapak Paidi, Keluarga SMP YPPK Santo Thomas Wamena, kawand-kawand SM3T Univesrsitas Mulawarman dan Universitas Negeri Malang, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya.

4 komentar: