Rabu, 10 Februari 2016

Kenangan di Tanah Porodisa

Kisah Pengabdian SM-3T:
 
Oleh : Agustin Indra Pratiwi
SM-3T Angkatan III Penempatan Sangihe

Monev II SM-3T UNJ di desa Essang Kampung Lama, Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara.

Jumat 13 September 2013 adalah kali pertama saya beserta rombongan SM-3T UNJ  menginjakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Itupun dalam rangka mengemban tugas sebagai peserta SM3T selama satu tahun ke depan. Tanah Porodisa, Tanah kelahiran, begitulah masyarakat sana menyebutnya. Sempat terbesit di angan-angan, daerah manakah ini. Bahkan saat mencoba untuk menelusurinya di peta hanya tergambarkan oleh sebuah titik kecil saja. Tak terbayangkan sama sekali saya bisa sampai di tempat ini.
Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud pada tahun 2002. Kabupaten Kepulauan Talaud ini terletak di paling utara Provinsi Sulawesi Utara dengan Ibukota di Melonguane yang berada di bagian selatan pulau Karakelang. Termasuk dalam 199 daerah tertinggal dan terisolir di Indonesia. Hal ini dikarenakan keterbatasan infrastruktur dasar, ekonomi, sosial budaya, perhubungan, telekomunikasi, informasi serta pertahanan dan keamanan. Jika dilihat dari komposisi keagamaannya, Kristen Protestan merupakan agama mayoritas yang dianut sebagian besar penduduk Talaud, kemudian diikuti agama minoritas seperti Katolik dan Islam.
Selama kurang lebih satu tahun, saya ditempatkan di Desa Essang Kampung Lama, Kecamatan Essang. Ditemani seorang rekan kerja SM3T dengan tempat pengabdian sekolah dan rumah tinggal yang sama. Sebelumnya sekolah ini belum pernah mendapatkan Guru SM3T, meskipun program ini telah berjalan di tahun ketiga di Kabupaten Kepulauan Talaud. Kepala Sekolah, rekan guru, wali murid, dewan komite, siswa, dan masyarakat sekitar sangat welcome dan cukup baik. Kedatangan kami disambut oleh seluruh warga bahkan tetua adat di sana. Hal ini menunjukkan bahwa ada dukungan dan tanggapan positif dari masyarakat setempat terhadap program SM3T yang sedang berlangsung ini.
Sebagai tenaga pengajar yang masih single, mestinya kami dipanggil “ Enci ” untuk perempuan dan “ Engku ” untuk laki-laki. Sebagai bentuk penghargaan mereka kepada kami yang datang jauh dari Jakarta, maka kami dipanggil Ibu/Bapak Guru, lain dengan Guru SM3T lainnya. Saya ditugaskan di Sekolah Dasar Inpres Essang. Bertolak 180 derajat jika dibandingkan dengan latar belakang saya yang mestinya mengajar di SMP atau SMA. Karna atas dasar pengabdian, dengan lapang dan penuh semangat saya menerimanya sebagai salah seorang tenaga pendidik di Sekolah Dasar. Tak tanggung-tanggung saya langsung ditugaskan sebagai wali kelas 1. Tugas yang cukup berat sekali, karena biasanya untuk mengajar di kelas 1 itu diembankan kepada senior.
SDN Inpres Essang hanya memiliki 3 orang PNS, yaitu seorang Kepala Sekolah (Bpk A.J.L. Halean), Bp Entjaurau selaku guru kelas VI yang tinggal tiga bulan mengajar karna telah purna tugas, dan Ibu Amiman selaku guru kelas V. Adapun guru bantu lainnya yaitu Ibu Derlin Bawimbang selaku guru kelas IV dan Ibu Takahipe sebagai guru Agama. Sangat terkesan ketika mengajar di kelas 1, sementara mereka belum terlalu paham penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa keseharian masih menggunakan bahasa daerah dan campuran Bahasa Manado, yang mana jika dilihat dari tata cara penggunaan Bahasa Indonesia yang benar, bahasanya dibolak balik. Seperti contohnya “Bapak sudah makan?” maka akan menjadi “Su makan Bapak? Atau makan sudah Bapak?”. Jadi rasanya cukup menantang sekali ketika saya harus belajar mengajar di kelas rendah disertai belajar bahasa daerahnya, body language, dan kesabaran tentunya. Minggu pertama-kedua, rasanya kurang lengkap jika sepulang sekolah tanpa menitikkan air mata. It’s okey, orang mengira bahwa mengajar di SD itu mudah. Namun beda ceritanya ketika pengalaman pertama mengajar di SD langsung mendapat kelas rendah dengan bahsa yang sama-sama kurang nyambung. Bener-bener serasa seperti seorang Ibu yang memiliki anak-anak masih kecil. Semua harus mendapatkan perhatian satu-satu tanpa terkecuali.
* * *
Penduduk Talaud, tepatnya di Desa Essang Kampung Lama cukup ramah dan terbuka. Guru di sana sangat dihormati, terlebih kami sebagai pendatang dari Ibukota Jakarta. Tapi jangan heran jika adat, budaya, dan tradisi disana bertolak belakang dengan di Jawa. Kebiasaan dalam merayakan pesta yang bisa menghabiskan waktu seharian suntuk tanpa istirahat, gaya hidupnya yang mengarah pada budaya barat dan sebagainya. Meskipun tak seluruhnya begitu, namun bisa dikatakan mayoritas penduduknya berkarakter demikian. Jika pada umumnya nasi adalah makanan pokok, maka berbeda dengan mereka. Memang mereka makan nasi, akan tetapi ada pengganti nasi yang mereka konsumsi sampai saat ini. Batata, ketela pohon dan sejenisnya. Batata adalah Ubi Jalar. Batata dan saudara-saudaranya itu dimakan dengan sayur dan dabu-dabu, sebagai pengganti nasi. Dabu-dabu itu adalah campuran dari rica, tomat merah, dan bawang merah yang diiris kecil dan tipis serta dicampur dengan sedikit garam dan jeruk lemon. Mungkin untuk kalangan awam itu rasanya aneh. Tapi lama-lama terbiasa makan seperti orang sana pada umumnya. Bahkan sempat menjadi makanan favorit, dan mengalahkan kenikmatan sesuap nasi.
* * *
Mayoritas mata pencaharian penduduk di sana adalah berkebun. Namun ada beberapa juga sebagai nelayan. Talaud merupakan daerah yang kaya akan hasil lautnya. Hanya saja masih bisa dikatakan bahwa negara tetangga, yaitu Filipin lebih menguasai hasil laut tersebut. Tak sedikit ditemukan kapal-kapal berbendera Filipin masuk dengan bebas di dermaga Essang dan beberapa kapal asing bertuliskan nama Indonesia untuk mengelabuhi dan menguasai hasil laut. Pernah suatu saat salah seorang nelayan di Essang membawa hasil tangkapannya yang cukup banyak dalam kapalnya. Hasil tangkapan itu pun dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang berminat. Saking banyaknya, bisa dikatakan setiap rumah mendapat jatah satu karung besar. Saat itu saya ikut memanen dan menikmatinya. Mendapatkan 35 ekor ikan itu termasuk sedikit, tapi cukup banyak untuk persediaan satu bulan ke depan.
Harga kebutuhan pokok seperti beras, sayur-sayuran dan sejenisnya cukup mahal karena stok selalu terbatas, menanti kiriman dari Manado. Terlebih untuk minyak tanah. Karena, mayoritas penduduk masih menggunakan kompor miyak. Tidak hanya itu, sumber air bersih pun tak semua tempat ada. Mati lampu merupakan seperti makanan sehari-hari. Sebab listrik nyala bisa dihitung berapa jam saja dalam sehari. Sinyal pun timbul tenggelam. Pernah hampir 2 bulan hidup tanpa sinyal. Kalaupun ada harus ke dermaga atau kota Melonguane. Bahkan ATM juga hanya ada di kota. Transportasi ke kota pun belum cukup memadai. Jika transportasi bus di Jakarta sudah dilakukan penarikan oleh petugas perhubungan, lain ceritanya di Talaud. Mereka masih tergolong pada transportasi yang tidak layak guna. Meskipun juga ada “ Otto ” atau taksi gelap yang beroperasi, hanya ada di daerah-daerah tertentu yang masih bisa terjangkau. Sementara untuk menembus sebuah daerah yang paling ujung, melalui jalan darat pun harus menerobos aliran sungai yang deras dan jalanan yang sangat-sangat becek dan tidak layak. Salut itu ketika melihat mereka mampu bertahan di sela-sela keterbatasan yang tak terkira sama sekali sebelumnya.
* * *
Jika berbicara mengenai pendidikannya, sudah tentu tertinggal jauh dari kota terlebih di Jawa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan beberapa daerah tertinggal lainnya masih bisa dikatakan cukup baik. Hanya saja terkendala jumlah pendidik yang masih kurang. Karena penyebaran tenaga pendidikannya belum merata di beberapa daerah. Etos kerja tenaga-tenaga pendidik pun juga masih kurang. Terbukti ada banyak sekolah yang mendapat jatah PNS banyak, akan tetapi pengelolaan sekolah baik secara administrasi maupun pelaksanaannya tidak dijalankan sebagaimana mestinya, seperti daftar hadir guru, ketertiban guru dan pemanfaatan waktu KBM. Namun tak dipungkiri ada pula seperti di sekolah tempat saya mengabdi, biarpun PNS hanya 3 orang, administrasi, tata tertib, dan pengelolaan yang berhubungan dengan sekolah cukup baik.
Anak-anak di tempat saya mengabdi sangat baik dan antusias belajar. Alhamdulilah dengan kedatangan kami cukup membantu dan membawa perubahan sistem pembelajaran ke arah yang positif. Meskipun belum bisa dikatakan sempurna, namun setidaknya ada perubahan-perubahan baik yang perlu ditingkatkan lagi. Seperti contohnya yang sebelumnya Upacara Bendera Hari Senin tidak pernah ada, maka upacara pun akhirnya diadakan. Apel setiap pagi berjalan lancar. Budaya cium tangan kepada guru saat pagi dan sepulang sekolah, semakin tertib. Siswa sekolah mengenakan seragam dengan rapi. Semakin tertibnya kedatangan siswa ke sekolah. Berkurngnya kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Serta administrasi kelas dan sekolah yang semakin tertib.
Sementara yang lebih merindukan adalah ketika para siswa menanti kedatangan saya. Mereka selalu menunggu dan menyambut saya di pintu gerbang sekolah. “ Ibu so datang, Ibu so datang! “ kata-kata itu hingga kini masih terngiang dalam ingatan saya. Lalu satu-persatu mereka akan mencium tangan. Selanjutnya mereka akan bergegas ambil barisan untuk melaksanakan apel pagi. Itulah rutinitas yang saya nikmati sebagai guru disini.
Di luar jam pelajaran sekolah, mereka hampir setiap hari datang ke rumah untuk belajar tambahan. Kedatangannya tidak jarang dengan membawakan buah-buahan. Itu dilakukan setiap sore sepulang sekolah. Selain belajar terkadang mereka mengajak saya untuk bermain di dermaga atau jalan-jalan untuk mengitari desa. Hal itu sungguh menyenangkan sekali. Kenangan  itu sungguh tidak terlupakan. Maka suatu saat nanti saya dapat bertemu kembali dengan mereka. Tentunya dengan melihat kesuksesan mereka yang saya sebut matahari kecilku. Terima kasih Essang. Terima kasih Talaud, Tanah Porodisa. Terima kasih SM-3T. Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. ( Jakarta, 02/02/2016 )


Awal kedatangan di Bandara Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud-Sulawesi Utara

Apel Pagi di SDN Inpres Essang


Menanti senja di Dermaga Essang








Tidak ada komentar:

Posting Komentar