Minggu, 07 Februari 2016

Toleransi di Ujung Negeri


Kisah pengabdian guru SM-3T:

M. Syaifullah Acc
SM-3T Penempatan Talaud
Twitter            : @Acc_Syaiful  



























Pesawat jenis ATR yang berangkat dari Manado ini akhirnya mendarat di Bandara Melonguane, mengantarkan kami peserta SM-3T Angkatan III LPTK Universitas Negeri Jakarta dan puluhan penumpang lain, yang sama-sama menaiki burung besi ini. Teringat ketika pengumuman penempatan peserta SM-3T, nama-nama kami tidak tercantum dari 3 Kabupaten yang menjadi sasaran penempatan LPTK Universitas Negeri Jakarta yaitu; Kabupaten Nunukan, Kabupaten Kupang dan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Setelah sekira 10 menitan barulah selembar kertas yang terakhir ditempel di papan pengumuman, dan ketika saya lihat ternyata untuk penempatan Kabupaten Kepulauan Talaud, nama sayapun ada diantara 11 teman-teman yang lain. Memang personel kami paling sedikit dari antara Kabupaten yang menjadi sasaran LPTK UNJ. Ketika pertama kali mengetahui mendapat penempatan di Kepulaun Talaud, hal yang pertama saya ingat adalah daerah ini berada persis berbatasan dengan negara tetangga yaitu Philipina, dan ada satu pulau yang paling ujung utara yang pernah disengketakan dengan negara tetangga tersebut yaitu pulau Miangas. Okelah  sergap saya, sembari tersenyum dengan takdir yang sudah memilih saya, untuk berada selama satu tahun di tanah Kepulauan Talaud yang masuk wilayah Provinsi Sulawesi Utara ini.
            Ibu Susan dari Dispora Kepulauan Talaud yang sebelumnya sudah bersua bersama kami di Bandara Sam Ratulangi Manado mengintruksikan agar kami menuju mobil yang sudah disediakan oleh Dinas setempat yang selanjutnya kami diantar ke gedung Dispora untuk acara penyambutan, setelah selesai penyambutan dan penyerahan, tak lama ibu Susan membacakan kecamatan dan sekolah yang akan kami tinggali, selama setahun untuk berbagi ilmu kepada tunas-tunas bangsa di sini. Tiba ketika nama saya di sebut dan mendapat penempatan di SD Negeri Riung Desa Riung Kecamatan Tampan’amma dan ternyata saya tidak sendirian di sini saya berpartner dengan Karsten Sollyardra. Ketika kepala sekolah SD Negeri Riung dipanggil ternyata beliau tidak ada,  akhirnya ibu Susan meminta tolong kepada kepala sekolah SMP Negeri 1 Tabang untuk mengantarkan kami ke desa Riung karena memang arahnya sama.
            Saya dan ke 4 teman lain satu mobil bersama kepala sekolah melaju ketempat penugasan, saya melihat sebelah kiri dan kanan pepohonan yang rindang dipercantik dengan indahnya pantai yang terlihat dari balik kaca mobil. Perjalanan sangat lancar karena kondisi jalan sudah baik. Ketika diperjalanan kami mengobrol dengan kepala sekolah seputar asal kami masing-masing dari mana dan alumni universitas mana. Kening saya mengkerut ketika melihat HP dan tidak ada sinyal Provider yang saya gunakan, ternyata di Kepulauan Talaud hanya satu Provider yang bisa digunakan untuk berkomunikasi. Sesampainya di Beo salah satu jantung perekonomian di Kepulauan Talaud, kami semua bergegas membeli kartu baru untuk tetap bisa berkomunikasi dengan sanak keluarga di kampung halaman. Kami beristirahat sejenak di sini sembari membeli air mineral, setelah dirasa cukup perjalananpun dilanjutkan masih dengan suasana yang sama rindangnya pepohonan membuat betah mata ini untuk tetap menatap keluar jendela mobil.
            Semakin menuju desa pengabdian, jalanan terlihat ada yang berlubang dan membuat kamu bergoyang-goyang di dalam mobil, dalam hati berguman ternyata belum merata pembangunan jalan di sini. Ternyata  hanya di daerah kawasan ibukota kabupaten yang jalanya bagus. Matahari sudah terlihat layu di ufuk barat menandakan sore hari sudah menyambut kami. Tibalah kami di desa pertama penempatan dua teman saya yaitu Yogi dan Iman di desa Tabang mereka menurunkan barang-barang bawaan mereka dan menuju rumah kepala sekolah. Setelah selesai perjalananpun dilanjutkan dengan medan jalan yang semakin lama semakin terasa goncangannya karena buruknya jalan yang dilalui. Kanan dan kiri kami lihat tak ada rumah hanya pohon kelapa yang menjulang tinggi yang kami temui serta pohon cengkih yang memang dua komoditas ini adalah unggulan dari Kepulauan Talaud selain buah Pala.

 
salah satu sudut penempatan desa kami 


Sesampainya di Desa Tua Batu kami diturunkan disini karena hari sudah mulai gelap. Desa saya masih jauh dan bapak kepala sekolah menyerahkan kepada salah satu guru di sini, untuk besok mengantarkan kami ke desa Riung. Desa Tua Batu adalah desa pengabdian dari saudari Mirma, dia seorang diri yang di tempatkan di SD Negeri Tua Batu. Saya membersihkan badan dengan segera karena badan terasa lengket akibat perjalanan jauh, setelah selesai mandi dan sholat Isya kamipun di undang kesekolah ternyata sedang ada acara perpisaha kaka-kaka kami dari SM-3T Angkatan II LPTK Unesa, acara pada waktu itu sudah selesai, tinggal acara hiburan joget bersama atau sering disebut empat wayer. Ketika sedang duduk dan menyaksikan mereka yang sedang berjoget, ada bapak-bapak yang menghampiri saya mengajak untuk ikut serta berjoget, terlihat bapaknya seperti orang mabuk dan ternyata memang dia sedang mabuk, okelah saya pun tak menolak ajakan beliau, walaupun sebenarnya dalam hati agak was-was karena minuman keras yang selalu ia minum. Saat mengobrol dengan bapak ini, diri saya merasa terganggu dengan bau alkohol yang sangat menyengat, karena memang baru pertama kalinya saya mencium bau alkohol seperti ini. Beberapa saat kemudian kami meminta izin untuk beristirahat duluan karena memang badan terasa lelah karena perjalan panjang dari Jakarta langsung ke Kepulauan Talaud.
            Sekira pukul 10:00 WITA kami diantar oleh 4 orang pemuda dari desa Tua Batu hendak mengantarkan kami ke Desa Riung menggunakan sepeda motor, dua motor untuk tumpangan kami dan dua motor untuk barang bawaan kami. Jalan yang diawal bagus lama-lama saya merasa jalannya seperti jalan ke kebun, hanya jalan tanah yang kami lalui. Sesampainya di Desa Riung kami langsung di antar ke sekolah dan ternyata sekolah saya berada di dataran yang agak tinggi sehingga dari sekolah bisa terlihat luasnya samudera Pasifik yang membentang sejauh mata memandang. Di sekolah sudah berkumpul dewan guru dan ternyata di sini ada guru SM-3T Angkatan II dari LPTK UM yaitu; Mas Anjar dan Selvy, mereka merasa terkejut dengan kedatangan kami dengan penampilan yang agak “ berbeda” karena rambut kami berdua sangat tipis karena hanya 2 cm saja panjangnya, dan kamipun terlihat terbakar kulitnya, karena memang sebelum kami berangkat ke penempatan ada pra kondisi, dimana 4 hari terakhir prakondisi kami di godok oleh salah satu tentara terbaik di dunia yaitu Kopassus.
            Dewan guru mempersilahkan kami untuk duduk, tak lama salah satu dewan guru membawakan air minus es, karena memang udara sangat panas saya rasa. Hari ini adalah hari sabtu jadi tidak ada KBM hanya ada ibadah dari pagi sampai siang. SD Negeri Riung dikepalai oleh seorang wanita yang bernama Juliantje Riung atau biasa kami panggil mama Riung. Riung adalah salah satu Fam atau marga yang ada di Kepulauan Talaud karena memang di sini semua penduduk aslinya mempunyai marga mengikuti garis keturunan ayah. Waktu sudah menunjukkan jam pulang, akhirnya bel pulangpun dibunyikan dan terlihat bel yang dipakai hanya terbuat dari besi tua yang jauh dari kata layak. Ada salah satu guru nyeletuk mari “mapurette” kening sayapun berkerut dan guru tersebut mengetahui ketidak tahuan kami apa maksudnya “mapurette” lalu beliau mengatakan “mapurette” sama dengan pulang dan sayapun tersenyum ketika beliau mengatakan hal tersebut dan ini adalah kata dalam bahasa Talaud yang pertama saya ketahui.
            Akhirnya kami berdua berjalan bersama kepala sekolah, dewan guru dan kakak-kakak dari Angkatan II menuju rumah kepala sekolah. Pada malam harinya ternyata ada perpisahan kakak-kakak SM-3T angkatan II di Gereja kamipun diundang untuk menghadirinya, ini adalah pertama kalinya saya masuk Gereja. Ketika sudah masuk ternyata ada kaka-kakak dari angkatan II LPTK Unesa, jadi di Riung ada 4 di mana 2 orang ditugaskan di SD dan yang 2 lagi ditugaskan di SMP. Tibalah saat giliran saya memperkenalkan diri, terlihat senyuman masyarakat ketika menjawab salam yang saya ucapkan, serta kehangatan yang diberikan oleh mereka membuat diri ini semakin nyaman berada ditengah-tengah mereka. Acarapun ditutup dengan makan bersama, ketika makan saya berpikir harus berhati-hati, takut mengambil makanan yang tidak boleh dimakan didalam ajaran Islam yang saya anut. Pada waktu itu saya hanya mengambil makanan yang terlihat jelas ‘aman’ untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan kecemasan pada diri saya ketika memakannya. Banyak pilihan makanan yang tersaji karena Talaud dikelilingi lautan jadi ikan lautpun banyak di meja makan sehingga sayapun ambil ikannya saja.
            Di desa Riung penduduknya semua beragama Kristen Protestan, dan secara keseluruhan Masyarakat di kabupaten ini mayoritas memeluk agama Kristen Protestan dimana membentuk 92% dari keseluruhan penduduknya, sisanya 6% Katholik dan 2% Islam. Pada suatu hari ketika awal-awal di desa pengabdian saya diundang kepesta pernikahan, acaranya malam hari sekitar jam 7 malam acara mulai, dan akhirnya sampai pada makan malam. Disaat saya mengambil makan ada yang bilang “engku jangan ambil yang itu”! sambil menunjukkan hidangan yang tidak boleh saya ambil (engku adalah sebutan guru laki-laki yang belum menikah) kenapa mama ? ‘itu daging’ di sana daging diidentikkan dengan daging babi, hampir saja menyentuhnya saya pikir, mungkin karena ibunya tahu saya seorang Muslim dimana dilarang untuk memakan daging tersebut, sehingga beliau memberi tahu akan hal tersebut. Ada juga ketika pesta yang lain bahkan kami yang Muslim meja makannya dibedakan untuk mempermudah kami mengambil makanan, dan tidak perlu takut untuk memilih makanan yang tersaji.
Bukan hanya tentang hal makan saja, ketika di sekolahpun saya diberi kebebasan untuk tidak masuk mengajar pada hari Jum’at, untuk melaksanakan ibadah sholat jum’at mengingat perjalanan menuju masjid yang berada di kecamatan Beo yang memakan waktu lebih dari 2,5 jam dengan jalan yang bergelombang. Sebuah toleransi yang luar biasa diperlihatkan oleh mereka, walaupun belum lama bertemu, tetapi mereka memberikan contoh nyata perbedaan yang tidak membuat perbedaan, tetapi perbedaan yang membuat persaudaraan, inilah Indonesia yang sesungguhnya Indonesia yang indah dengan keharmonian Bhinneka Tunggal Ika yang tertanam dalam setiap sanubari meraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar