Senin, 18 Januari 2016

Sepenggal Kisah Pengabdian SM-3T di Kab. Lanny Jaya Papua



Suka duka Pengabdian di Kabupaten Lanny Jaya Papua: Pindah sekolah gara-gara OPM

Hari ini saya akan menceritakan salah satu teman seperjuangan sebagai seorang pendidik di SM-3T selama melaksanakan tugas pengabdian di  daerah Papua.
Papua…. Pulau paling timur di negeri kita tercinta ini, menyimpan banyak kenangan bagi sosok Zulkarnain, seorang pemuda asal Kab. Bengkalis (Riau) yang selama satu tahun mendedikasihkan hidupnya bagi dunia pendidikan dengan mengikuti program SM-3T. Mungkin lebih tepatnya bukan hanya di dunia pendidikan, tapi juga karena alasan kemanusiaan.  Iya.., mungkin begitu lebih pas.
Cerita ini di awali dari mulai hari pertama mengajar, hingga pengalaman tragis yakni ketika mendapat gangguan dari kelompok gerakan sparatis OPM yang akhirnya membuat ia dan teman-temannya terpaksa dievakuasi dan dipindahkan ke daerah lain.

 
Zulkarnaen 

Anak-anak besok bawa buku ya...!”
Iya, Bapa Guru ujar mereka saat berlangsungnya proses belajar mengajar pada hari pertama dan saya mengatakan kepada mereka; untuk pertemuan pertama ini tidak apa-apa karena masih belum diberi tahu.
Jadi besok semua anak-anak wajib bawa semua perangkat alat tulis
Iya, Bapa Guru” ujar mereka lagi.
            Keesokan harinya kejadian itu masih berulang seperti itu juga dan saya bertanya kepada anak-anak; mengapa kalian tidak membawa alat tulis? Mereka menjawab, ada yang mengatakan ”sa pu bapa dan mama tidak pu uang untuk beli bolpoin dan buku, Pangguru (panggilan akrab pak guru di sekolah).” Begitulah gaya bahasa mereka. Rata-rata anak di kabupaten Lanny Jaya menggunakan pena, meskipun masih ukuran tingkat sekolah dasar. Barang kali, mungkin karena kebiasaan yang dilihat/faktor In-nya, dari kakak-kakaknya di rumah dan tidak adanya pencegahan dari pihak sekolah dan terkadang ada yang meminjam buku dan pena kakaknya yang sudah tingkat SLTA, mungkin itulah alasan mengapa anak-anak SD di kabupaten Lanny Jaya menggunakan pena. Terkadang ada yang mengatakan ’sa malas, pangguru’, dan ketika kita bertanya lagi ’mengapa kamu malas?’ mereka hanya menjawab dengan bahasa tubuh mereka sendiri dengan menaikan sebelah bahu dan diiringi kepala turun ke sebelah bahu yang dinaikan. Pernyataan polos yang terkadang membuat kita sakit ketika mendengarnya. Begitulah fenomena pendidikan di Lanny Jaya khususnya SD Nokapaka.
            Ketika kita meminta mereka untuk menulis, ada juga yang menyatakan ’sa (saya) pu (punya) bolpen tidak ada, pangguru’. Berbagai alasan yang dilontarkan oleh anak-anak, ada yang bawa buku tidak bawa pena, ada yang bawa pena tidak bawa buku, ada yang bawa noken saja(tas yang terbuat dari benang/kerajinan tangan masyarakat Papua) tidak membawa apa-apa, ada yang di dalam nokennya hanya berisi ipere saja (ubi jalar) dalam bahasa Lanny, dan ada juga di dalam nokennya hanya berisikan pisau/parang, ketika ditanya untuk apa itu pisau/parang?
Untuk cari makan wam (babi), pangguru” begitu ujarnya
”Sebenarnya mereka mau pergi ke sekolah ga ya?” umpatku saya dalam hati. Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang membuat telinga kita sakit mendengarkannya dan tidak jarang membuat kita tersulut emosi.
            Jika hari turun hujan/musim hujan, kebanyakan di antara mereka tidak datang ke sekolah khususnya SD Nokapaka, akses menuju ke sekolah putus dikarenakan banjir. Karena letak SD nokapaka itu di pinggir kali/sungai. Kalaupun ada yang datang, itu tidak lebih 1-3 siswa dan itupun mereka datang paling cepat pukul 9 pagi. Syukur-syukur jam 9 pagi terkadang jam 12 baru ada yang datang. Hal ini dikarenakan penduduk setempat masih mengandalkan matahari untuk melihat waktu, karena di honai (rumah adat) masing-masing tidak memiliki jam dinding itulah salah satu alasan mengapa anak-anak selalu terlambat pergi sekolah.
            Yang menyedihkan adalah ketika masyarakat mengadakan upacara bakar batu (upacara adat bakar-bakar hasil panen/ternak menggunakan batu) atau pesta hasil dari denda adat, baik itu karena pembunuhan ataupun peperangan (wajar saja, di daerah pedalaman Papua sampai saat ini masih banyak terjadi peperangan antar suku). Hampir dipastikan bahwa anak-anak tidak akan ada yang berangkat ke sekolah. Mereka lebih memilih mengikui upacara adat dibandingkan dengan belajar di sekolah.
            Akan tetapi,  setelah melalui proses, dalam jangka waktu lebih kurang 2 bulan anak-anak mulai bisa diarahkan. Yang mana tadinya ugal-ugalan menjadi sedikit berkurang , yang tidak biasa membuang ingus sekarang sudah mulai terbiasa membuang ingus. Tidak dipungkiri memang anak-anak di sini tidak pernah membuang ingusnya meskipun sudah sampai ke bibir. Kebiasaan yang sering mereka lakukan hanya terus-terusan menyedot kembali ingus-ingus yang keluar dari lubang hidung mereka. Buka berlebihan, namun begitulah pada kenyataannya. Akan tetapi, setelah melalui proses pengarahan, secara perlahan kami  mengajarkan kepada mereka untuk merubah kebiasaan—kebiasaan yang tidak baik tersebut. Yang pada awalnya jarang memakai seragam, sekarang sudah mulai membiasakan diri memakai seragam, yang jarang membawa buku sekarang membawa buku, yang tadinya tidak mengenal huruf sekarang menjadi lumayan kemampuan menulisnya, yang hanya mengenal huruf jadi bisa mengeja, yang hanya bisa mengeja jadi bisa membaca. Hal ini menjadi penyemangat dan seperti ada kepuasan tersendiri bagi kami .
            Perubahan yang membaik, walaupun sedikit namun membuat saya dan teman-teman semakin bersemangat untuk tetap bertahan di perantauan orang dan menjadi penyemangat untuk tetap mengajar. Saya bangga dengan anak-anak dengan segala keterbatasan ia masih mau pergi ke sekolah dan belajar, meskipun rumahnya  jauh, terkadang harus menempuh jarak belasan kilo bahkan puluhan kilo hanya mengadalkan jalan kaki dan kaki ayam (bertelanjang kaki).
             Sayang kebersamaan saya dengan siswa-siswa yang lugu tersebut tidak berlangsung lama, kami tidak bisa melanjutkan perjuangan itu bersama teman-teman, ceritanya begini; sepulangnya saya tangal 3 Desember bersama teman-teman satu posko dari liburan 1 Desember bertepatan pada hari perayaan Papua merdeka.
Langit gemuruh menampakan kemarahannya, baru kali ini selama ditempatkan di Lanny Jaya kami mendapati fenomena alam yang demikian. Biasanya kalau mau hujan itu hanya tampak mendung saja, tapi tidak dengan suasana sore ini. Kata penduduk setempat itu pertanda bahwa orang hutan atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) akan keluar dari markasnya. Saya bertanya kepada masyarakat yang kenal dan kebetulan lewat sambil bercanda, mengapa demikian?  Mereka menjawab; karena orang hutan itu biasanya bergerak saat-saat hari hujan, mereka memakai ilmu alam(magis), jadi gemuruh itu mereka yang membuat begitulah ujar mereka.
             Dari sore sampai tengah malam hujan tak henti-hentinya mengguyur Nokapaka, rintik-rintik hujan terus membasahi bumi Lanny Jaya hingga bunyi arus deras terdengar jelas di telinga. Wajar saja… karena memang sungai berada tepat sekali di belakang dan di samping rumah.
Sekitar pukul 10 malam ada yang mengetok pintu rumah kami, biasanya memang kepala sekolah datang berkunjung ke rumah untuk urusan  meminta bantuan kepada kami mengetik nama-nama atau urusan yang mengenai anak-anak kelas 6 yang mau Ujian Nasional, atau hanya sekedar untuk bercerita dan menemani malam-malam kami. Akan tetapi, setelah Rudi dan Beri (teman satu posko) membukakan pintu, ternyata  bukan kepala sekolah yang datang, melainkan 2 orang asing yang sebelumnya belum kami kenal. Ketika ditanya apa tujuannya, mereka hanya diam dan memandang sinis kepada teman saya, dan ketika itu saya tidak tau karena posisi saya sedang berada  didalam kamar. Kemudian Beri memanggil saya  keluar untuk sama-sama menghadapi orang tadi, kemudian saya mencoba bertanya, “kakak dari manakah?”. Mereka hanya diam dan duduk di kursi yang ada tepat didepan teras rumah sambil menghentakan senjata tajam kelantai.  Dari sekian banyaknya pertanyaan yang ku lontarkan tidak satupun ada respon, saya mulai curiga dan agak sedikit kekhawatiran,  pasti ini orang yang tidak ada niat baiknya, kekhawatiranku bertambah karena memang letak rumah kami lumayan jauh dari pemukiman warga. Jika terjadi apa-apa, tidak ada warga yang bisa melihat langsung malam itu.
Malam semakin larut, untuk mengharapkan pertolongan pun sangat sulit, pasrah adalah tindakan bodoh menurutku, berusaha mencari jalan keluar berkecamuk dalam benak kami. Dalam keadaan genting, kami berusaha menunjukkan raut wajah yang besahabat. Kedua orang yang tidak kami kenal sejenak berbicara dengan bahasa mereka sendiri dan tentunya tidak dapat kami mengerti.
Yach...kecurigaanku itu benar, kalau ternyata mereka memiliki niat buruk. Hasil dari pembicaraan mereka adalah bagian dari rencana  untuk meminta uang kepada kami.
kami tidak pu uang kaka  jawabku kepada mereka !
Dengan sikap mengancam mereka berusaha agar uang itu kami berikan pada mereka. Dua ratus ribu adalah sisa uang belanja yang berhasil kami kumpulkan malam itu, kami berikan agar mereka segera pergi meninggalkan kami, namun ternyata mereka meminta lebih, “habislah kami” aku sempat berpikir demikian.  Air mata ibu guru Obi dan Anggun menjadi penyemangat bagiku untuk keluar dari masalah konyol ini. Dua juta yang mereka minta, bukanlah uang yang sedikit untuk kami usahakan malam itu. Mataku tidak lengah mengawasi senjata tajam yang di pegang salah satu dari mereka, desakkan dan ancaman serta pernyataan yang terlontar dari mereka bahwa kedua orang itu adalah utusan dari kelompok sparatis OPM.
Pemerasan...! ya menurutku itu adalah pemerasan, apalah arti nilai uang di bandingkan dengan keselamatan kami. Seandainya ada uang tunai ditangan kami sejumlah yang mereka pinta  malam itu tentu saja sudah kami berikan. Seakan tidak ada belas kasihan terhadap kami, mereka terus memaksa bahkan kedua orang itu meminta agar kami menelepon bapak sekda dan bupati yang menerut mereka bapak sekda dan bupati akan segera mengirim uang tersebut. Permintaan mereka kepada kami untuk menghubungi bapak sekda dan bupati kami manfaatkan untuk minta pertolongan kepada warga setempat.
 Tolong ... tolong... tolong......tolong......” melalalui telepon seluler pesan itu disampaikan ibu guru obi kepada bapak sekda.
Dengan dalih berusaha meminjam uang,  kami berusaha mengulur waktu  sampai pertolongan itu  datang. Tampak bias-bias cahaya mengarah tepat kerumah kami dan arah nya semakin mendekat, kedua orang yang tidak kami kenal itu bergerak cepat meninggalkan kami, barangkali mereka takut diketahui warga yang datang beramai-ramai malam itu. Pertolongan itu datang tepat waktu, pesan yang disampaikan ibu guru obi mendapat respon dari bapak sekda yang sedang bertugas di Jayapura, dengan perintah beliau kepada aparat desa setempat untuk segera mengefakuasi kami malam itu juga. Bias cahaya itu ternyata adalah lampu senter dari petugas keamanan Polsek Tiom untuk dapat tiba dirumah kami. Kedua orang yang berusaha memeras kami seketika hilang bersama gelapnya malam, tidak ada hasil dari upaya yang mereka lakukan untuk mendapatkan uang dari kami.
Bersama deru suara sungai Tiom dilereng bukit Nokapaka kami harus tinggalkan anak-anak didik kami yang baru saja kami kenal, rajutan mimpi yang tertinggal pupuslah sudah benangnya terputus disayat akan kebodohan mereka yang tertindas dan tidak punya mimpi. Tidak lagi terdengar sapaan bapak ibu guru dipagi hari, kelas menjadi sepi bak seperti kuburan umum. Tangisan bocah  Nokapaka digantikan dengan nyanyian setiap pagi, tapi siapa kan mendengar? Mungkin batu dan pohon pun yang akan dengan setia mendengar tangis anak-anakku.
Apalah daya duri menusuk, bekas bak prasasti. Kejahatan kedua orang itu tidak dapat di toleren lagi, akau bersama lima teman guru bantu Nokapaka akhirnya harus dipindah tugaskan. Sedikit ilmu yang tersisa keyakinanku tertanam dihati anak-anak Nokapaka, senantiasa tumbuh dan berbuah membumbung tinggi membuka bendungan bukit batu dan cakrawala Nokapaka.

Tunggu cerita para pengabdi selanjutnya…..



           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar