Suka duka Pengabdian
di Kabupaten Lanny Jaya Papua: Pindah sekolah gara-gara OPM
Hari ini saya
akan menceritakan salah satu teman seperjuangan sebagai seorang pendidik di
SM-3T selama melaksanakan tugas pengabdian di
daerah Papua.
Papua…. Pulau
paling timur di negeri kita tercinta ini, menyimpan banyak kenangan bagi sosok
Zulkarnain, seorang pemuda asal Kab. Bengkalis (Riau) yang selama satu tahun
mendedikasihkan hidupnya bagi dunia pendidikan dengan mengikuti program SM-3T.
Mungkin lebih tepatnya bukan hanya di dunia pendidikan, tapi juga karena alasan
kemanusiaan. Iya.., mungkin begitu lebih
pas.
Cerita ini di
awali dari mulai hari pertama mengajar, hingga pengalaman tragis yakni ketika
mendapat gangguan dari kelompok gerakan sparatis OPM yang akhirnya membuat ia
dan teman-temannya terpaksa dievakuasi dan dipindahkan ke daerah lain.
Zulkarnaen
”Anak-anak besok bawa buku ya...!”
”Iya, Bapa Guru” ujar mereka saat berlangsungnya proses belajar
mengajar pada hari pertama dan saya mengatakan kepada mereka; untuk pertemuan pertama ini tidak apa-apa karena
masih belum diberi tahu.
”Jadi besok semua anak-anak wajib bawa semua
perangkat alat tulis”
”Iya, Bapa Guru” ujar mereka lagi.
Keesokan
harinya kejadian itu masih berulang
seperti itu juga dan saya bertanya kepada anak-anak; mengapa kalian tidak membawa alat tulis? Mereka menjawab, ada yang mengatakan ”sa pu bapa dan mama tidak pu
uang untuk beli bolpoin dan buku, Pangguru
(panggilan
akrab pak guru di sekolah).” Begitulah gaya
bahasa mereka. Rata-rata anak di kabupaten Lanny Jaya menggunakan pena, meskipun
masih ukuran tingkat sekolah dasar. Barang kali, mungkin karena kebiasaan yang
dilihat/faktor In-nya, dari
kakak-kakaknya di rumah dan tidak adanya pencegahan dari pihak sekolah dan
terkadang ada yang meminjam buku dan pena kakaknya yang sudah tingkat SLTA, mungkin
itulah alasan mengapa anak-anak SD di kabupaten Lanny Jaya menggunakan pena. Terkadang
ada yang mengatakan ’sa malas, pangguru’,
dan ketika kita bertanya lagi ’mengapa kamu malas?’ mereka hanya menjawab
dengan bahasa tubuh mereka sendiri dengan menaikan sebelah bahu dan diiringi
kepala turun ke sebelah bahu yang dinaikan. Pernyataan polos yang terkadang membuat kita sakit ketika mendengarnya.
Begitulah fenomena pendidikan di Lanny Jaya khususnya SD Nokapaka.
Ketika
kita meminta mereka untuk
menulis, ada juga yang
menyatakan ’sa (saya) pu (punya) bolpen tidak ada, pangguru’. Berbagai
alasan yang dilontarkan oleh anak-anak, ada yang bawa buku tidak bawa pena, ada
yang bawa pena tidak bawa buku, ada yang bawa noken saja(tas yang
terbuat dari benang/kerajinan tangan masyarakat
Papua) tidak membawa apa-apa, ada yang di dalam nokennya hanya berisi ipere
saja (ubi jalar) dalam bahasa Lanny, dan ada juga di dalam nokennya hanya berisikan pisau/parang, ketika ditanya “untuk
apa itu pisau/parang?”
”Untuk cari makan wam (babi), pangguru” begitu
ujarnya”
”Sebenarnya mereka mau pergi ke sekolah ga ya?”
umpatku saya dalam hati. Dan
masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang membuat telinga kita sakit
mendengarkannya dan tidak jarang
membuat kita tersulut emosi.
Jika hari turun hujan/musim hujan, kebanyakan di antara mereka tidak
datang ke sekolah khususnya SD Nokapaka, akses menuju ke sekolah putus
dikarenakan banjir. Karena letak SD nokapaka itu di pinggir kali/sungai. Kalaupun
ada yang datang,
itu tidak lebih 1-3 siswa dan itupun mereka datang paling cepat pukul 9
pagi. Syukur-syukur jam 9 pagi terkadang jam 12 baru ada yang datang. Hal ini
dikarenakan penduduk setempat masih mengandalkan matahari untuk melihat waktu, karena
di honai (rumah adat) masing-masing tidak memiliki jam dinding itulah salah
satu alasan mengapa anak-anak selalu terlambat pergi sekolah.
Yang
menyedihkan adalah ketika masyarakat mengadakan upacara
bakar batu (upacara adat bakar-bakar hasil panen/ternak menggunakan batu) atau
pesta hasil dari denda adat, baik itu karena
pembunuhan ataupun peperangan (wajar saja, di daerah pedalaman Papua sampai saat
ini masih banyak terjadi peperangan antar suku). Hampir dipastikan bahwa anak-anak tidak akan ada yang
berangkat ke sekolah. Mereka lebih memilih mengikui upacara adat dibandingkan
dengan belajar di sekolah.
Akan
tetapi, setelah melalui proses, dalam
jangka waktu lebih kurang 2 bulan anak-anak mulai bisa diarahkan. Yang mana
tadinya ugal-ugalan menjadi sedikit berkurang , yang tidak biasa membuang ingus
sekarang sudah mulai terbiasa
membuang ingus. Tidak
dipungkiri memang anak-anak di sini tidak pernah membuang
ingusnya meskipun sudah sampai ke bibir. Kebiasaan
yang sering mereka lakukan hanya terus-terusan menyedot kembali
ingus-ingus yang keluar dari lubang hidung mereka. Buka berlebihan, namun begitulah
pada kenyataannya. Akan tetapi, setelah melalui proses pengarahan, secara perlahan kami mengajarkan
kepada mereka untuk merubah kebiasaan—kebiasaan yang
tidak baik tersebut. Yang pada awalnya jarang memakai seragam, sekarang sudah mulai
membiasakan diri memakai seragam,
yang jarang membawa
buku sekarang membawa buku, yang tadinya tidak
mengenal huruf sekarang menjadi
lumayan kemampuan menulisnya, yang hanya mengenal
huruf jadi bisa mengeja, yang hanya bisa mengeja jadi bisa membaca. Hal ini
menjadi penyemangat dan seperti ada kepuasan tersendiri bagi kami .
Perubahan
yang membaik, walaupun sedikit
namun membuat saya dan
teman-teman semakin
bersemangat untuk tetap bertahan di perantauan orang dan menjadi penyemangat
untuk tetap mengajar. Saya bangga dengan anak-anak dengan segala keterbatasan
ia masih mau pergi ke sekolah dan belajar, meskipun rumahnya jauh, terkadang harus menempuh jarak belasan
kilo bahkan puluhan kilo hanya mengadalkan jalan kaki dan kaki ayam (bertelanjang
kaki).
Sayang kebersamaan
saya
dengan siswa-siswa yang lugu tersebut tidak
berlangsung lama, kami tidak bisa
melanjutkan perjuangan itu bersama teman-teman, ceritanya begini; sepulangnya
saya tangal 3 Desember bersama teman-teman satu posko dari liburan 1 Desember bertepatan
pada hari perayaan Papua merdeka.
Langit gemuruh
menampakan kemarahannya, baru kali ini
selama ditempatkan di Lanny Jaya kami mendapati fenomena alam yang demikian.
Biasanya kalau mau hujan itu hanya tampak mendung saja, tapi tidak dengan suasana sore ini. Kata
penduduk setempat itu pertanda bahwa
orang hutan atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) akan keluar dari markasnya. Saya bertanya kepada
masyarakat yang kenal dan kebetulan lewat sambil bercanda, mengapa demikian? Mereka menjawab; karena orang hutan itu
biasanya bergerak saat-saat hari hujan, mereka memakai ilmu alam(magis), jadi
gemuruh itu mereka yang membuat
begitulah ujar mereka.
Dari sore sampai tengah malam hujan tak
henti-hentinya mengguyur Nokapaka, rintik-rintik hujan terus membasahi bumi Lanny
Jaya hingga bunyi arus deras terdengar jelas di telinga. Wajar saja… karena memang sungai berada tepat sekali di
belakang dan di samping rumah.
Sekitar pukul 10 malam ada yang
mengetok pintu rumah kami, biasanya
memang kepala sekolah datang
berkunjung ke rumah untuk urusan meminta bantuan kepada kami mengetik nama-nama
atau urusan yang mengenai anak-anak kelas 6 yang
mau
Ujian Nasional,
atau hanya sekedar untuk
bercerita dan menemani malam-malam
kami. Akan tetapi, setelah Rudi dan Beri (teman satu
posko) membukakan pintu,
ternyata bukan kepala sekolah yang datang, melainkan 2
orang asing yang sebelumnya belum kami kenal.
Ketika ditanya apa tujuannya, mereka hanya diam dan memandang sinis
kepada teman saya, dan ketika itu saya tidak tau karena posisi saya sedang
berada didalam kamar. Kemudian Beri memanggil
saya keluar untuk sama-sama menghadapi
orang tadi, kemudian
saya mencoba bertanya, “kakak dari manakah?”. Mereka hanya diam
dan duduk di kursi yang ada
tepat didepan teras rumah sambil menghentakan senjata tajam kelantai. Dari sekian banyaknya pertanyaan yang ku
lontarkan tidak satupun ada respon,
saya mulai curiga dan agak sedikit
kekhawatiran, pasti ini orang yang tidak ada niat baiknya,
kekhawatiranku bertambah karena memang letak rumah
kami lumayan jauh dari pemukiman warga. Jika terjadi apa-apa, tidak ada warga yang bisa
melihat langsung malam itu.
Malam semakin
larut, untuk mengharapkan pertolongan pun sangat sulit, pasrah adalah tindakan
bodoh menurutku, berusaha mencari jalan keluar berkecamuk dalam benak kami.
Dalam keadaan genting, kami berusaha menunjukkan raut wajah yang besahabat.
Kedua orang yang tidak kami kenal sejenak berbicara dengan bahasa mereka
sendiri dan tentunya tidak dapat kami mengerti.
Yach...kecurigaanku
itu benar, kalau ternyata mereka
memiliki niat buruk. Hasil dari
pembicaraan mereka adalah bagian dari rencana untuk meminta uang kepada kami.
“kami tidak pu uang kaka” jawabku
kepada mereka !
Dengan sikap
mengancam mereka berusaha agar uang itu kami berikan pada mereka. Dua ratus
ribu adalah sisa uang belanja yang berhasil kami kumpulkan malam itu,
kami berikan agar mereka segera pergi meninggalkan kami, namun ternyata mereka meminta lebih, “habislah
kami” aku sempat berpikir demikian. Air mata ibu guru Obi dan Anggun menjadi penyemangat
bagiku untuk keluar dari masalah konyol ini. Dua juta yang mereka minta, bukanlah
uang yang sedikit untuk kami usahakan malam itu.
Mataku tidak lengah
mengawasi
senjata tajam yang di pegang salah satu dari mereka, desakkan dan ancaman serta pernyataan yang
terlontar dari mereka bahwa kedua orang itu adalah utusan dari kelompok sparatis OPM.
Pemerasan...! ya
menurutku itu adalah pemerasan, apalah arti nilai uang di bandingkan dengan
keselamatan kami. Seandainya ada uang tunai
ditangan kami sejumlah yang mereka pinta malam itu tentu saja sudah kami berikan.
Seakan tidak ada belas kasihan terhadap kami,
mereka terus memaksa bahkan kedua orang itu meminta agar kami menelepon bapak sekda
dan bupati yang menerut mereka bapak sekda dan bupati akan segera mengirim uang
tersebut. Permintaan mereka kepada kami untuk menghubungi bapak
sekda dan bupati kami manfaatkan untuk minta pertolongan
kepada warga setempat.
Tolong ... tolong...
tolong......tolong......” melalalui telepon seluler pesan itu disampaikan ibu
guru obi kepada bapak sekda.
Dengan dalih
berusaha meminjam uang, kami berusaha
mengulur waktu sampai pertolongan
itu datang. Tampak bias-bias cahaya
mengarah tepat kerumah kami dan arah nya semakin mendekat, kedua orang yang
tidak kami kenal itu bergerak cepat meninggalkan kami, barangkali mereka takut
diketahui warga yang datang
beramai-ramai malam itu. Pertolongan itu datang tepat
waktu, pesan yang disampaikan ibu guru obi mendapat respon dari bapak sekda
yang sedang bertugas di Jayapura, dengan perintah beliau kepada aparat desa setempat untuk
segera mengefakuasi
kami malam itu juga.
Bias cahaya itu ternyata adalah
lampu senter dari petugas keamanan Polsek Tiom untuk dapat tiba dirumah kami. Kedua
orang yang berusaha memeras kami seketika hilang bersama gelapnya malam, tidak
ada hasil dari upaya yang mereka lakukan untuk mendapatkan uang dari kami.
Bersama deru
suara sungai Tiom dilereng bukit Nokapaka kami harus tinggalkan anak-anak didik
kami yang baru saja kami kenal,
rajutan mimpi yang tertinggal pupuslah sudah benangnya terputus disayat akan kebodohan
mereka yang tertindas dan tidak punya mimpi. Tidak lagi terdengar sapaan bapak
ibu guru dipagi hari, kelas menjadi sepi bak seperti kuburan umum. Tangisan bocah
Nokapaka digantikan dengan nyanyian
setiap pagi, tapi siapa kan mendengar? Mungkin batu dan pohon pun yang akan dengan setia mendengar tangis
anak-anakku.
Apalah daya duri
menusuk, bekas bak prasasti. Kejahatan kedua orang itu tidak dapat di toleren
lagi, akau bersama lima teman guru bantu Nokapaka akhirnya harus dipindah tugaskan. Sedikit ilmu yang
tersisa keyakinanku tertanam dihati anak-anak Nokapaka, senantiasa tumbuh dan
berbuah membumbung tinggi membuka bendungan bukit batu dan cakrawala Nokapaka.
Tunggu cerita para
pengabdi selanjutnya…..