Senin, 25 Januari 2016

Iloi: Makanan Khas Suku Dayak




Setiap daerah di Indonesia memiliki masakan khas masing-masing, tidak ubahnya di daerah Kalimantan, tepatnya di daerah Kab. Nunukan Kalimantan Utara. Daerah dengan penduduk asli suku Dayak tersebut memiliki makanan yang bahan dasarnya terbuat dari singkong, atau lebih dikenal dengan sebutan iloi. Lagi-lagi karena SM-3T, kurang lebih begitu…. pengalaman ini saya temukan ketika masih  ditempatkan di daerah tersebut, sebagai guru bantu waktu mengikuti program SM-3T 2013-2014 yang lalu. 

Anda pernah melihat makanan papeda? Yaitu makanan khas dari daerah Papua dan Maluku yang berbahan dasar dari tepung sagu. Kurang lebih seperti itulah bentuknya, memiliki tekstur yang lengket seperti lem dan berwarna putih. Menurut masyarakat setempat, menyantap iloi harus dengan sayur/lauk yang dimasak berkuah, hal ini bertujuan agar tekstur iloi yang lengket mudah di telan dan dicerna.

Bagi yang masih penasaran, inilah proses dalam membuat iloi :
  1. Siapkan singkong yang akan dibut iloi, kupas bersih kulitnya.
  2. Singkong yang sudah dikupas kemudian dicuci sampai bersih, hingga tidak ada kotoran yang terlihat.
  3. Singkong yang sudah dikupas dan dicuci bersih kemudian diparut atau digiling.
  4. Singkong hasil parutan atau gilingan tersebut diletakkan di atas kain tipis dan selanjutnya diperas.
  5. Air perasan yang keluar dari celah-celah kain tersebut kemudian diendapkan. Buanglah air yang ada di atas endapan sisa perasan tersebut. Dan hasil endapan itulah yang kemudian menjadi iloi, berbentuk seperti tepung tapioka.

Itulah proses dalam membuat iloi, cukup mudah bukan?
Pada dasarnya iloi  adalah saripati dari singkong itu sendiri. Di pabrik dengan pengolahan yang lebih modern, cara ini sebenarnya tidak ubahnya dengan cara membuat tepung tapioka. Hanya saja iloi dibuat oleh tangan-tangan terampil, sedangkan tapioka dibuat dengan menggunakan mesin-mesin yang berteknologi modern.

Jika anda ingin mengolahnya agar iloi tersebut siap dimakan, caranya cukup simpel. Ambilah iloi secukupnya, letakkan kedalam wadah mangkuk atau wajan, kemudian siramlah dengan air mendidih dan aduk sampai rata hingga semua bagian dari iloi tersebut tercampur dengan air dan bertekstur seperti lem.  Kemudian iloi siap disantap… selamat mencoba





Sumber: masyarakat Dayak Agabag Desa Patal, Kec. Lumbis Kab. Nunukan Kalimantan Utara

Sabtu, 23 Januari 2016

Catatan Kecil SM-3T: SMP Negeri 2 Lumbis, Kab. Nunukan Kalimantan Utara



SMP Negeri 2 Lumbis

Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) telah membawaku ke desa ini. Desa Patal namanya, sebuah desa terpencil yang letaknya di pedalaman Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara. Dengan penduduk sekitar enam puluhan kepala keluarga, desa yang terletak dipinggiran sungai sembakung ini dihuni oleh 100% suku Dayak agabag. Akses masuk ke desa yang hanya bisa dilalui dengan menggunakan perahu kecil, terkadang cukup menyulitkan saya dan teman-teman sepenempatan untuk menuju pusat kecamatan. Benar saja…. Karena memang tidak ada jalan darat yang dapat dilalui untuk sampai di desa ini. Kereeeeenn.. ini pasti bakal jadi pengalaman yang luar biasa, pikirku ketika sampai di tempat ini  pertama kali. Memang agak sedikit kurang percaya, cerita-cerita yang ada dalam film yang pernah saya tonton yang mengisahkan perjuangan orang-orang hebat di daerah pedalaman untuk berjuang atas nama pendidikan dan kemanusiaan, ternyata saya sendiri akan mengalaminya.


Hampir setiap menjelang akhir pekan di hari Jumat, biasanya kami harus pergi ke kecamatan berbelanja persediaan logistik untuk persediaan makanan selama satu minggu kedepan sekaligus menunaikan shalat Jumat. Penduduk Desa patal memang dihuni oleh keseluruhan warga nonmuslim, jadi untuk menjalankan shalat Jumat kami harus menempuh perjalanan sekitar satu jam dengan menggunakan ketingting, yaitu istilah warga setempat untuk menyebut kendaraan perahu kecil dengan kapasitas penumpang 4-5 orang yang digerakkan dengan menggunakan tenaga mesin berkapasitas 10-15 PK. Kebetulan saat kami datang ke tempat ini, sekolah kami baru saja mendapatkan infentaris ketingting dari dinas pendidikan sebagai fasilitas kendaraan guru-guru di sekolah SMP kami. Jadi kendaraan inilah yang senantiasa setia mengantarkan kami selama satu tahun di penempatan, kami hanya cukup membeli bahan bakar bensin dan selanjutnya pak Situl (penjaga sekolah) atau Yandi (anak pak Situl) yang menjadi juru kemudinya.

Sedikit gambaran, untuk menuju ke pusat kabupaten Nunukan, kami harus menempuh perjalanan yang cukup menyita waktu. Dari desa Patal kami harus ke pusat kecamatan terlebih dahulu dengan menaiki Ketingting sekitar satu jam, setelah sampai di kecamatan kami harus menuju pelabuhan Pemliangan yang lama tempuhnya dari pusat kecamatan sekitar 4-5 jam  perjalanan dengan menggunakan kendaraan darat (travel). Setibanya di pelabuhan Pemliangan, untuk sampai di pusat kabupaten perjalanan masih harus dilanjutkan dengan menaiki kendaraan  speed boat sekitar 4-5 jam. Jadi untuk menuju pusat kabupaten saja kami membutuhkan waktu hampir seharian. Butuh tenaga ekstra bagi orang-orang seperti kami yang baru mengenal daerah ini kala itu.

Kembali ke Desa Patal….
Di desa inilah kami memulai cerita sebagai tenaga pendidik, tepatnya di SMP Negeri 2 Lumbis. Walaupun menyandang status sebagai sekolah negeri, namun keadaan fisik sekolah ini  dapat dikatakan jauh dari kata layak. Sekolah yang terdiri atas lima ruangan dengan bangunan berbentuk panggung dan berdiri di atas bukit Desa Patal ini memiliki jumlah siswa yang  tidak lebih dari 36 orang. Dengan fasilitas seadanya, kami mencoba memfasilitasi mereka untuk belajar mengenal pengetahuan layaknya siswa pada umumnya. Memang kondisi ini tidak mudah… tidak mudah bagi mereka, juga tidak mudah bagi kami. Sebagai contoh, saya mendapatkan jadwal mengajar mata pelajaran TIK (kurikulum KTSP), seperti yang kita ketahui mata pelajaran TIK akan menjadi sangat mudah diajarkan kepada siswa apabila sekolah memiliki fasilitas komputer, karena kita bisa menjelaskan kemudian mereka mempraktikan secara langsung. Namun ceritanya akan berbeda apabila kita mengajar mata pelajaran TIK, sedangkan bentuk komputer saja mereka belum tahu wujudnya seperti apa. Bisa dibayangkan kita hanya menjelaskan tentang konsep-konsep tanpa praktik, yang ada justru membuat mereka semakin bingung.
 
sudut jendela ruang guru, tempat kami mencari signal

Tenaga pengajar SM-3T di sekolah ini ada tiga orang, saya bersama dua teman saya Wahyu dan Septika masing-masing berasal dari jurusan yang berbeda. Di sekolah ini kami diberikan  tugas untuk mengampu 4-6 mata pelajaran setiap orangnya. Tugas yang cukup berat bagi seorang guru pemula seperti kami, namun ini adalah bagian konsekuensi pilihan. Kami mencoba untuk menikmatinya, walaupun kami harus belajar cukup ekstra dalam mempersiapkan pembelajaran.Kami beruntung di sekolah ini masih bisa menemukan signal HP, walaupun hanya satu atau dua signal. Itupun hanya ada di sudut jendela ruang guru, itulah satu-satunya tempat di desa ini yang kebetulan terjangkau oleh jaringan,  sedikit saja HP kita bergeser hampir dipastikan signalnya pun ikut hilang. Namun setidaknya kami benar-benar bersyukur karena bisa berkomunikasi dan berkirim kabar dengan keluarga atau teman-teman di luar sana. Memang mengharukan, tapi justru itulah kenangan yang mungkin sulit kami lupakan. Satu hal yang unik ketika di sekolah, kami (guru) dan seluruh siswa di sekolah ini ketika hari Jumat selalu membawa Mandau, istilah warga setempat untuk menyebut parang atau golok khas Kalimantan. Kami mewajibkan semua siswa untuk membawa alat tersebut untuk kami pergunakan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh begitu subur di sekitar halaman sekolah. Wajar saja… halaman sekolah kami memang kurang terawat, semingu saja tidak dibersihkan, maka rumput-rumput liarpun akan tinggi menjulang. Oleh sebab itu, kami harus rutin membersihkannya. Tidak jarang kegiatan pembelajaran di hari Jumat kami abaikan, kami fokus membersihkan lingkungan sekolah, merawat halaman sekolah agar terlihat lebih layak disebut sebagai lingkungan tempat belajar. 

 
video ketika melakukan bersih-bersih rutin setiap hari Jumat








Ketika pulang sekolah, untuk menyibukkan diri kami biasanya berkebun, sekedar menanam kacang panjang, terong, atau sayur-sayuran lainnya sembari menunggu waktu sore tiba. Memanfaatkan lahan kosong di samping dan belakang rumah kami. Memang tidak luas, namun cukup lumayan kalau dimanfaatkan daripada dibiarkan tidak terawat. Ternyata hasilnya cukup melimpah…. Terlalu banyak hasil kebun apabila untuk kami nikmati sendiri, oleh sebab itu kami biasanya membagi-bagikan hasil kebun kepada tetangga-tetangga sebelah, atau biasanya kami bagikan kepada teman-teman sesama SM-3T yang ada di kecamatan.

Ketika malam tiba, seperti biasa kami selalu memanfaatkan waktu untuk membuka laptop.. mengerjakan tugas, bermain game, atau terkadang hanya sekedar nonton film bareng. Keterbatasan listrik memang benar-benar membatasi kinerja kami di depan laptop, wajar saja… karena di desa ini memang belum ada aliran  listrik dari pemerintah, jadi kami hanya menggunakan listrik tenaga mesin diesel yang berasal dari rumah warga, dengan membayar lima ribu rupiah setiap sore sebagai uang iuran untuk membeli bahan bakar solar atau bensin, kami diberikan imbalan berupa hak untuk menikmati fasilitas listrik, walaupun cuma sebentar yaitu menyala mulai pukul 18.00 WITA dan kemudian padam sekitar pukul 21.00 WITA. Tapi setidaknya itulah satu-satunya hiburan yang bisa kami nikmati ketika malam hari di penempatan.

Pengalaman ini benar-benar mengajarkan kepada saya tentang perjuangan dan kesederhanaan.  toleransi yang diberikan masyarakat setempat kepada orang-orang pendatang seperti kami patut mendapatkan apresiasi.. rasa takut dan was-was yang dulu pernah saya rasakan sebelum tiba di daerah ini, ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang saya alami.  Mereka benar-benar menunjukkan sikap terbuka, walaupun terkadang kami terkendala dengan bahasa untuk berkomunikasi, setidaknya dari ekspresi yang saya tangkap mereka menerima dengan senang hati kehadiran kami…

Rabu, 20 Januari 2016

TRIK MEMPERMUDAH BELAJAR SEJARAH MENGGUNAKAN SINGKATAN



Bagi sebagian orang, belajar sejarah menjadi hal yang membosankan. Mereka pusing kalau disuruh untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting, atau  yang berkaitan dengan nama-nama peninggalan sejarah atau nama-nama tokoh dalam sejarah.
Tidak demikian bagi siapa saja yang sudah memiliki trik tentang bagaimana tekhnik belajar sejarah. Jika anda memiliki cara yang pas dalam belajar sejarah, saya dapat menjamin bahwa belajar sejarah akan menjadi menyenangkan.

Nah bagi anda yang saat ini berprofesi sebagai guru sejarah, atau mungkin kamu yang saat ini masih menjadi siswa yang kebetulan mengalami kesulitan belajar sejarah, kali ini saya akan berbagi tips tentang bagaimana caranya agar kita dapat dengan mudah belajar sejarah, mulai dari menghafal peristiwa-peristiwa penting, atau nama-nama peninggalan sejarah dan juga nama-nama tokoh.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak langkah-langkah di bawah ini:
  1. Tentukan peristiwa-peristiwa/peninggalan-peninggalan sejarah/tokoh-tokoh sejarah yang akan kalian hafal/pelajari.Misal: kalian akan menghafal nama-nama peninggalan prasati peninggalan zaman KerajaanTarumanegara. Berarti ada tujuh prasasti yang akan kita hafal: CIARUTEUN, KEBON KOPI, JAMBU, TUGU, MUARA CIANTEN, LEBAK DAN PASIR AWI. Atau kita akan menghafal nama-nama kabinet masa demokrasi liberal (1950-1959).
    Berarti kita akan menghafal tujuh nama kabinet yaitu: NATSIR, SUKIMAN, WILOPO, ALI SASTROAMIDJOYO I, BURHANUDDIN HARAHAP, ALI SASTROAMIDJOYO II, DJUANDA. Bagi yang daya ingatya agak lemah (maaf), menghafal nama-nama peninggalan di atas tentu akan kesulitan bukan? 
  2. Buatlah singkatan yang diambil dari nama-nama prasasti/nama kabinet yang akan kita hafalkan tersebut.Dari nama-nama prasasti tersebut di atas, kita dapat membuat contoh singkatan yang tentu saja mudah kita ingat.
    Contoh: CUT KEKE JATUH KE LEBAK MUARA CIANTEN PASIR AWI(ciaruteun, kebon kopi, jambu, tugu, lebak, muara cianten dan pasir awi.) Sedangkan untuk nam-nama kabinet di atas kita dapat menyingkatnya: NATSIR SUKA WANITA ASLI BUGIS APALAGI JANDANYA (Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamidjoyo I, Burhanuddin Harahap, Ali Sastroamidjoyo II, Djuanda)

Dari singkatan tersebut, tentu saja kita akan dengan mudah menghafalnya bukan?
Memang istilah tersebut terkesan lucu, tapi dengan kelucuan tersebut justru terkadang anda/murid anda akan dapat dengan mudah menghafalnya.

Saran buat kalian yang akan membuat singkatan, carilah singkatan yang mudah untuk dihafal. Jangan sekali-kali membuat singkatan yang malah membuat anda sendiri pusing menghafalnya.
Metode ini bisa kalian terapkan untuk menghafal materi sejarah apa saja, yang perlu digarisbawahi adalah buatlah singkatan-singkatan yang mudah di hafal.

Sekian tips belajar sejarah yang dapat saya bagikan, semoga bermanfaat…

Senin, 18 Januari 2016

Sepenggal Kisah Pengabdian SM-3T di Kab. Lanny Jaya Papua



Suka duka Pengabdian di Kabupaten Lanny Jaya Papua: Pindah sekolah gara-gara OPM

Hari ini saya akan menceritakan salah satu teman seperjuangan sebagai seorang pendidik di SM-3T selama melaksanakan tugas pengabdian di  daerah Papua.
Papua…. Pulau paling timur di negeri kita tercinta ini, menyimpan banyak kenangan bagi sosok Zulkarnain, seorang pemuda asal Kab. Bengkalis (Riau) yang selama satu tahun mendedikasihkan hidupnya bagi dunia pendidikan dengan mengikuti program SM-3T. Mungkin lebih tepatnya bukan hanya di dunia pendidikan, tapi juga karena alasan kemanusiaan.  Iya.., mungkin begitu lebih pas.
Cerita ini di awali dari mulai hari pertama mengajar, hingga pengalaman tragis yakni ketika mendapat gangguan dari kelompok gerakan sparatis OPM yang akhirnya membuat ia dan teman-temannya terpaksa dievakuasi dan dipindahkan ke daerah lain.

 
Zulkarnaen 

Anak-anak besok bawa buku ya...!”
Iya, Bapa Guru ujar mereka saat berlangsungnya proses belajar mengajar pada hari pertama dan saya mengatakan kepada mereka; untuk pertemuan pertama ini tidak apa-apa karena masih belum diberi tahu.
Jadi besok semua anak-anak wajib bawa semua perangkat alat tulis
Iya, Bapa Guru” ujar mereka lagi.
            Keesokan harinya kejadian itu masih berulang seperti itu juga dan saya bertanya kepada anak-anak; mengapa kalian tidak membawa alat tulis? Mereka menjawab, ada yang mengatakan ”sa pu bapa dan mama tidak pu uang untuk beli bolpoin dan buku, Pangguru (panggilan akrab pak guru di sekolah).” Begitulah gaya bahasa mereka. Rata-rata anak di kabupaten Lanny Jaya menggunakan pena, meskipun masih ukuran tingkat sekolah dasar. Barang kali, mungkin karena kebiasaan yang dilihat/faktor In-nya, dari kakak-kakaknya di rumah dan tidak adanya pencegahan dari pihak sekolah dan terkadang ada yang meminjam buku dan pena kakaknya yang sudah tingkat SLTA, mungkin itulah alasan mengapa anak-anak SD di kabupaten Lanny Jaya menggunakan pena. Terkadang ada yang mengatakan ’sa malas, pangguru’, dan ketika kita bertanya lagi ’mengapa kamu malas?’ mereka hanya menjawab dengan bahasa tubuh mereka sendiri dengan menaikan sebelah bahu dan diiringi kepala turun ke sebelah bahu yang dinaikan. Pernyataan polos yang terkadang membuat kita sakit ketika mendengarnya. Begitulah fenomena pendidikan di Lanny Jaya khususnya SD Nokapaka.
            Ketika kita meminta mereka untuk menulis, ada juga yang menyatakan ’sa (saya) pu (punya) bolpen tidak ada, pangguru’. Berbagai alasan yang dilontarkan oleh anak-anak, ada yang bawa buku tidak bawa pena, ada yang bawa pena tidak bawa buku, ada yang bawa noken saja(tas yang terbuat dari benang/kerajinan tangan masyarakat Papua) tidak membawa apa-apa, ada yang di dalam nokennya hanya berisi ipere saja (ubi jalar) dalam bahasa Lanny, dan ada juga di dalam nokennya hanya berisikan pisau/parang, ketika ditanya untuk apa itu pisau/parang?
Untuk cari makan wam (babi), pangguru” begitu ujarnya
”Sebenarnya mereka mau pergi ke sekolah ga ya?” umpatku saya dalam hati. Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang membuat telinga kita sakit mendengarkannya dan tidak jarang membuat kita tersulut emosi.
            Jika hari turun hujan/musim hujan, kebanyakan di antara mereka tidak datang ke sekolah khususnya SD Nokapaka, akses menuju ke sekolah putus dikarenakan banjir. Karena letak SD nokapaka itu di pinggir kali/sungai. Kalaupun ada yang datang, itu tidak lebih 1-3 siswa dan itupun mereka datang paling cepat pukul 9 pagi. Syukur-syukur jam 9 pagi terkadang jam 12 baru ada yang datang. Hal ini dikarenakan penduduk setempat masih mengandalkan matahari untuk melihat waktu, karena di honai (rumah adat) masing-masing tidak memiliki jam dinding itulah salah satu alasan mengapa anak-anak selalu terlambat pergi sekolah.
            Yang menyedihkan adalah ketika masyarakat mengadakan upacara bakar batu (upacara adat bakar-bakar hasil panen/ternak menggunakan batu) atau pesta hasil dari denda adat, baik itu karena pembunuhan ataupun peperangan (wajar saja, di daerah pedalaman Papua sampai saat ini masih banyak terjadi peperangan antar suku). Hampir dipastikan bahwa anak-anak tidak akan ada yang berangkat ke sekolah. Mereka lebih memilih mengikui upacara adat dibandingkan dengan belajar di sekolah.
            Akan tetapi,  setelah melalui proses, dalam jangka waktu lebih kurang 2 bulan anak-anak mulai bisa diarahkan. Yang mana tadinya ugal-ugalan menjadi sedikit berkurang , yang tidak biasa membuang ingus sekarang sudah mulai terbiasa membuang ingus. Tidak dipungkiri memang anak-anak di sini tidak pernah membuang ingusnya meskipun sudah sampai ke bibir. Kebiasaan yang sering mereka lakukan hanya terus-terusan menyedot kembali ingus-ingus yang keluar dari lubang hidung mereka. Buka berlebihan, namun begitulah pada kenyataannya. Akan tetapi, setelah melalui proses pengarahan, secara perlahan kami  mengajarkan kepada mereka untuk merubah kebiasaan—kebiasaan yang tidak baik tersebut. Yang pada awalnya jarang memakai seragam, sekarang sudah mulai membiasakan diri memakai seragam, yang jarang membawa buku sekarang membawa buku, yang tadinya tidak mengenal huruf sekarang menjadi lumayan kemampuan menulisnya, yang hanya mengenal huruf jadi bisa mengeja, yang hanya bisa mengeja jadi bisa membaca. Hal ini menjadi penyemangat dan seperti ada kepuasan tersendiri bagi kami .
            Perubahan yang membaik, walaupun sedikit namun membuat saya dan teman-teman semakin bersemangat untuk tetap bertahan di perantauan orang dan menjadi penyemangat untuk tetap mengajar. Saya bangga dengan anak-anak dengan segala keterbatasan ia masih mau pergi ke sekolah dan belajar, meskipun rumahnya  jauh, terkadang harus menempuh jarak belasan kilo bahkan puluhan kilo hanya mengadalkan jalan kaki dan kaki ayam (bertelanjang kaki).
             Sayang kebersamaan saya dengan siswa-siswa yang lugu tersebut tidak berlangsung lama, kami tidak bisa melanjutkan perjuangan itu bersama teman-teman, ceritanya begini; sepulangnya saya tangal 3 Desember bersama teman-teman satu posko dari liburan 1 Desember bertepatan pada hari perayaan Papua merdeka.
Langit gemuruh menampakan kemarahannya, baru kali ini selama ditempatkan di Lanny Jaya kami mendapati fenomena alam yang demikian. Biasanya kalau mau hujan itu hanya tampak mendung saja, tapi tidak dengan suasana sore ini. Kata penduduk setempat itu pertanda bahwa orang hutan atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) akan keluar dari markasnya. Saya bertanya kepada masyarakat yang kenal dan kebetulan lewat sambil bercanda, mengapa demikian?  Mereka menjawab; karena orang hutan itu biasanya bergerak saat-saat hari hujan, mereka memakai ilmu alam(magis), jadi gemuruh itu mereka yang membuat begitulah ujar mereka.
             Dari sore sampai tengah malam hujan tak henti-hentinya mengguyur Nokapaka, rintik-rintik hujan terus membasahi bumi Lanny Jaya hingga bunyi arus deras terdengar jelas di telinga. Wajar saja… karena memang sungai berada tepat sekali di belakang dan di samping rumah.
Sekitar pukul 10 malam ada yang mengetok pintu rumah kami, biasanya memang kepala sekolah datang berkunjung ke rumah untuk urusan  meminta bantuan kepada kami mengetik nama-nama atau urusan yang mengenai anak-anak kelas 6 yang mau Ujian Nasional, atau hanya sekedar untuk bercerita dan menemani malam-malam kami. Akan tetapi, setelah Rudi dan Beri (teman satu posko) membukakan pintu, ternyata  bukan kepala sekolah yang datang, melainkan 2 orang asing yang sebelumnya belum kami kenal. Ketika ditanya apa tujuannya, mereka hanya diam dan memandang sinis kepada teman saya, dan ketika itu saya tidak tau karena posisi saya sedang berada  didalam kamar. Kemudian Beri memanggil saya  keluar untuk sama-sama menghadapi orang tadi, kemudian saya mencoba bertanya, “kakak dari manakah?”. Mereka hanya diam dan duduk di kursi yang ada tepat didepan teras rumah sambil menghentakan senjata tajam kelantai.  Dari sekian banyaknya pertanyaan yang ku lontarkan tidak satupun ada respon, saya mulai curiga dan agak sedikit kekhawatiran,  pasti ini orang yang tidak ada niat baiknya, kekhawatiranku bertambah karena memang letak rumah kami lumayan jauh dari pemukiman warga. Jika terjadi apa-apa, tidak ada warga yang bisa melihat langsung malam itu.
Malam semakin larut, untuk mengharapkan pertolongan pun sangat sulit, pasrah adalah tindakan bodoh menurutku, berusaha mencari jalan keluar berkecamuk dalam benak kami. Dalam keadaan genting, kami berusaha menunjukkan raut wajah yang besahabat. Kedua orang yang tidak kami kenal sejenak berbicara dengan bahasa mereka sendiri dan tentunya tidak dapat kami mengerti.
Yach...kecurigaanku itu benar, kalau ternyata mereka memiliki niat buruk. Hasil dari pembicaraan mereka adalah bagian dari rencana  untuk meminta uang kepada kami.
kami tidak pu uang kaka  jawabku kepada mereka !
Dengan sikap mengancam mereka berusaha agar uang itu kami berikan pada mereka. Dua ratus ribu adalah sisa uang belanja yang berhasil kami kumpulkan malam itu, kami berikan agar mereka segera pergi meninggalkan kami, namun ternyata mereka meminta lebih, “habislah kami” aku sempat berpikir demikian.  Air mata ibu guru Obi dan Anggun menjadi penyemangat bagiku untuk keluar dari masalah konyol ini. Dua juta yang mereka minta, bukanlah uang yang sedikit untuk kami usahakan malam itu. Mataku tidak lengah mengawasi senjata tajam yang di pegang salah satu dari mereka, desakkan dan ancaman serta pernyataan yang terlontar dari mereka bahwa kedua orang itu adalah utusan dari kelompok sparatis OPM.
Pemerasan...! ya menurutku itu adalah pemerasan, apalah arti nilai uang di bandingkan dengan keselamatan kami. Seandainya ada uang tunai ditangan kami sejumlah yang mereka pinta  malam itu tentu saja sudah kami berikan. Seakan tidak ada belas kasihan terhadap kami, mereka terus memaksa bahkan kedua orang itu meminta agar kami menelepon bapak sekda dan bupati yang menerut mereka bapak sekda dan bupati akan segera mengirim uang tersebut. Permintaan mereka kepada kami untuk menghubungi bapak sekda dan bupati kami manfaatkan untuk minta pertolongan kepada warga setempat.
 Tolong ... tolong... tolong......tolong......” melalalui telepon seluler pesan itu disampaikan ibu guru obi kepada bapak sekda.
Dengan dalih berusaha meminjam uang,  kami berusaha mengulur waktu  sampai pertolongan itu  datang. Tampak bias-bias cahaya mengarah tepat kerumah kami dan arah nya semakin mendekat, kedua orang yang tidak kami kenal itu bergerak cepat meninggalkan kami, barangkali mereka takut diketahui warga yang datang beramai-ramai malam itu. Pertolongan itu datang tepat waktu, pesan yang disampaikan ibu guru obi mendapat respon dari bapak sekda yang sedang bertugas di Jayapura, dengan perintah beliau kepada aparat desa setempat untuk segera mengefakuasi kami malam itu juga. Bias cahaya itu ternyata adalah lampu senter dari petugas keamanan Polsek Tiom untuk dapat tiba dirumah kami. Kedua orang yang berusaha memeras kami seketika hilang bersama gelapnya malam, tidak ada hasil dari upaya yang mereka lakukan untuk mendapatkan uang dari kami.
Bersama deru suara sungai Tiom dilereng bukit Nokapaka kami harus tinggalkan anak-anak didik kami yang baru saja kami kenal, rajutan mimpi yang tertinggal pupuslah sudah benangnya terputus disayat akan kebodohan mereka yang tertindas dan tidak punya mimpi. Tidak lagi terdengar sapaan bapak ibu guru dipagi hari, kelas menjadi sepi bak seperti kuburan umum. Tangisan bocah  Nokapaka digantikan dengan nyanyian setiap pagi, tapi siapa kan mendengar? Mungkin batu dan pohon pun yang akan dengan setia mendengar tangis anak-anakku.
Apalah daya duri menusuk, bekas bak prasasti. Kejahatan kedua orang itu tidak dapat di toleren lagi, akau bersama lima teman guru bantu Nokapaka akhirnya harus dipindah tugaskan. Sedikit ilmu yang tersisa keyakinanku tertanam dihati anak-anak Nokapaka, senantiasa tumbuh dan berbuah membumbung tinggi membuka bendungan bukit batu dan cakrawala Nokapaka.

Tunggu cerita para pengabdi selanjutnya…..