Rabu, 10 Februari 2016

Kenangan di Tanah Porodisa

Kisah Pengabdian SM-3T:
 
Oleh : Agustin Indra Pratiwi
SM-3T Angkatan III Penempatan Sangihe

Monev II SM-3T UNJ di desa Essang Kampung Lama, Kabupaten Kepulauan Talaud Sulawesi Utara.

Jumat 13 September 2013 adalah kali pertama saya beserta rombongan SM-3T UNJ  menginjakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Itupun dalam rangka mengemban tugas sebagai peserta SM3T selama satu tahun ke depan. Tanah Porodisa, Tanah kelahiran, begitulah masyarakat sana menyebutnya. Sempat terbesit di angan-angan, daerah manakah ini. Bahkan saat mencoba untuk menelusurinya di peta hanya tergambarkan oleh sebuah titik kecil saja. Tak terbayangkan sama sekali saya bisa sampai di tempat ini.
Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud pada tahun 2002. Kabupaten Kepulauan Talaud ini terletak di paling utara Provinsi Sulawesi Utara dengan Ibukota di Melonguane yang berada di bagian selatan pulau Karakelang. Termasuk dalam 199 daerah tertinggal dan terisolir di Indonesia. Hal ini dikarenakan keterbatasan infrastruktur dasar, ekonomi, sosial budaya, perhubungan, telekomunikasi, informasi serta pertahanan dan keamanan. Jika dilihat dari komposisi keagamaannya, Kristen Protestan merupakan agama mayoritas yang dianut sebagian besar penduduk Talaud, kemudian diikuti agama minoritas seperti Katolik dan Islam.
Selama kurang lebih satu tahun, saya ditempatkan di Desa Essang Kampung Lama, Kecamatan Essang. Ditemani seorang rekan kerja SM3T dengan tempat pengabdian sekolah dan rumah tinggal yang sama. Sebelumnya sekolah ini belum pernah mendapatkan Guru SM3T, meskipun program ini telah berjalan di tahun ketiga di Kabupaten Kepulauan Talaud. Kepala Sekolah, rekan guru, wali murid, dewan komite, siswa, dan masyarakat sekitar sangat welcome dan cukup baik. Kedatangan kami disambut oleh seluruh warga bahkan tetua adat di sana. Hal ini menunjukkan bahwa ada dukungan dan tanggapan positif dari masyarakat setempat terhadap program SM3T yang sedang berlangsung ini.
Sebagai tenaga pengajar yang masih single, mestinya kami dipanggil “ Enci ” untuk perempuan dan “ Engku ” untuk laki-laki. Sebagai bentuk penghargaan mereka kepada kami yang datang jauh dari Jakarta, maka kami dipanggil Ibu/Bapak Guru, lain dengan Guru SM3T lainnya. Saya ditugaskan di Sekolah Dasar Inpres Essang. Bertolak 180 derajat jika dibandingkan dengan latar belakang saya yang mestinya mengajar di SMP atau SMA. Karna atas dasar pengabdian, dengan lapang dan penuh semangat saya menerimanya sebagai salah seorang tenaga pendidik di Sekolah Dasar. Tak tanggung-tanggung saya langsung ditugaskan sebagai wali kelas 1. Tugas yang cukup berat sekali, karena biasanya untuk mengajar di kelas 1 itu diembankan kepada senior.
SDN Inpres Essang hanya memiliki 3 orang PNS, yaitu seorang Kepala Sekolah (Bpk A.J.L. Halean), Bp Entjaurau selaku guru kelas VI yang tinggal tiga bulan mengajar karna telah purna tugas, dan Ibu Amiman selaku guru kelas V. Adapun guru bantu lainnya yaitu Ibu Derlin Bawimbang selaku guru kelas IV dan Ibu Takahipe sebagai guru Agama. Sangat terkesan ketika mengajar di kelas 1, sementara mereka belum terlalu paham penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa keseharian masih menggunakan bahasa daerah dan campuran Bahasa Manado, yang mana jika dilihat dari tata cara penggunaan Bahasa Indonesia yang benar, bahasanya dibolak balik. Seperti contohnya “Bapak sudah makan?” maka akan menjadi “Su makan Bapak? Atau makan sudah Bapak?”. Jadi rasanya cukup menantang sekali ketika saya harus belajar mengajar di kelas rendah disertai belajar bahasa daerahnya, body language, dan kesabaran tentunya. Minggu pertama-kedua, rasanya kurang lengkap jika sepulang sekolah tanpa menitikkan air mata. It’s okey, orang mengira bahwa mengajar di SD itu mudah. Namun beda ceritanya ketika pengalaman pertama mengajar di SD langsung mendapat kelas rendah dengan bahsa yang sama-sama kurang nyambung. Bener-bener serasa seperti seorang Ibu yang memiliki anak-anak masih kecil. Semua harus mendapatkan perhatian satu-satu tanpa terkecuali.
* * *
Penduduk Talaud, tepatnya di Desa Essang Kampung Lama cukup ramah dan terbuka. Guru di sana sangat dihormati, terlebih kami sebagai pendatang dari Ibukota Jakarta. Tapi jangan heran jika adat, budaya, dan tradisi disana bertolak belakang dengan di Jawa. Kebiasaan dalam merayakan pesta yang bisa menghabiskan waktu seharian suntuk tanpa istirahat, gaya hidupnya yang mengarah pada budaya barat dan sebagainya. Meskipun tak seluruhnya begitu, namun bisa dikatakan mayoritas penduduknya berkarakter demikian. Jika pada umumnya nasi adalah makanan pokok, maka berbeda dengan mereka. Memang mereka makan nasi, akan tetapi ada pengganti nasi yang mereka konsumsi sampai saat ini. Batata, ketela pohon dan sejenisnya. Batata adalah Ubi Jalar. Batata dan saudara-saudaranya itu dimakan dengan sayur dan dabu-dabu, sebagai pengganti nasi. Dabu-dabu itu adalah campuran dari rica, tomat merah, dan bawang merah yang diiris kecil dan tipis serta dicampur dengan sedikit garam dan jeruk lemon. Mungkin untuk kalangan awam itu rasanya aneh. Tapi lama-lama terbiasa makan seperti orang sana pada umumnya. Bahkan sempat menjadi makanan favorit, dan mengalahkan kenikmatan sesuap nasi.
* * *
Mayoritas mata pencaharian penduduk di sana adalah berkebun. Namun ada beberapa juga sebagai nelayan. Talaud merupakan daerah yang kaya akan hasil lautnya. Hanya saja masih bisa dikatakan bahwa negara tetangga, yaitu Filipin lebih menguasai hasil laut tersebut. Tak sedikit ditemukan kapal-kapal berbendera Filipin masuk dengan bebas di dermaga Essang dan beberapa kapal asing bertuliskan nama Indonesia untuk mengelabuhi dan menguasai hasil laut. Pernah suatu saat salah seorang nelayan di Essang membawa hasil tangkapannya yang cukup banyak dalam kapalnya. Hasil tangkapan itu pun dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang berminat. Saking banyaknya, bisa dikatakan setiap rumah mendapat jatah satu karung besar. Saat itu saya ikut memanen dan menikmatinya. Mendapatkan 35 ekor ikan itu termasuk sedikit, tapi cukup banyak untuk persediaan satu bulan ke depan.
Harga kebutuhan pokok seperti beras, sayur-sayuran dan sejenisnya cukup mahal karena stok selalu terbatas, menanti kiriman dari Manado. Terlebih untuk minyak tanah. Karena, mayoritas penduduk masih menggunakan kompor miyak. Tidak hanya itu, sumber air bersih pun tak semua tempat ada. Mati lampu merupakan seperti makanan sehari-hari. Sebab listrik nyala bisa dihitung berapa jam saja dalam sehari. Sinyal pun timbul tenggelam. Pernah hampir 2 bulan hidup tanpa sinyal. Kalaupun ada harus ke dermaga atau kota Melonguane. Bahkan ATM juga hanya ada di kota. Transportasi ke kota pun belum cukup memadai. Jika transportasi bus di Jakarta sudah dilakukan penarikan oleh petugas perhubungan, lain ceritanya di Talaud. Mereka masih tergolong pada transportasi yang tidak layak guna. Meskipun juga ada “ Otto ” atau taksi gelap yang beroperasi, hanya ada di daerah-daerah tertentu yang masih bisa terjangkau. Sementara untuk menembus sebuah daerah yang paling ujung, melalui jalan darat pun harus menerobos aliran sungai yang deras dan jalanan yang sangat-sangat becek dan tidak layak. Salut itu ketika melihat mereka mampu bertahan di sela-sela keterbatasan yang tak terkira sama sekali sebelumnya.
* * *
Jika berbicara mengenai pendidikannya, sudah tentu tertinggal jauh dari kota terlebih di Jawa. Akan tetapi jika dibandingkan dengan beberapa daerah tertinggal lainnya masih bisa dikatakan cukup baik. Hanya saja terkendala jumlah pendidik yang masih kurang. Karena penyebaran tenaga pendidikannya belum merata di beberapa daerah. Etos kerja tenaga-tenaga pendidik pun juga masih kurang. Terbukti ada banyak sekolah yang mendapat jatah PNS banyak, akan tetapi pengelolaan sekolah baik secara administrasi maupun pelaksanaannya tidak dijalankan sebagaimana mestinya, seperti daftar hadir guru, ketertiban guru dan pemanfaatan waktu KBM. Namun tak dipungkiri ada pula seperti di sekolah tempat saya mengabdi, biarpun PNS hanya 3 orang, administrasi, tata tertib, dan pengelolaan yang berhubungan dengan sekolah cukup baik.
Anak-anak di tempat saya mengabdi sangat baik dan antusias belajar. Alhamdulilah dengan kedatangan kami cukup membantu dan membawa perubahan sistem pembelajaran ke arah yang positif. Meskipun belum bisa dikatakan sempurna, namun setidaknya ada perubahan-perubahan baik yang perlu ditingkatkan lagi. Seperti contohnya yang sebelumnya Upacara Bendera Hari Senin tidak pernah ada, maka upacara pun akhirnya diadakan. Apel setiap pagi berjalan lancar. Budaya cium tangan kepada guru saat pagi dan sepulang sekolah, semakin tertib. Siswa sekolah mengenakan seragam dengan rapi. Semakin tertibnya kedatangan siswa ke sekolah. Berkurngnya kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Serta administrasi kelas dan sekolah yang semakin tertib.
Sementara yang lebih merindukan adalah ketika para siswa menanti kedatangan saya. Mereka selalu menunggu dan menyambut saya di pintu gerbang sekolah. “ Ibu so datang, Ibu so datang! “ kata-kata itu hingga kini masih terngiang dalam ingatan saya. Lalu satu-persatu mereka akan mencium tangan. Selanjutnya mereka akan bergegas ambil barisan untuk melaksanakan apel pagi. Itulah rutinitas yang saya nikmati sebagai guru disini.
Di luar jam pelajaran sekolah, mereka hampir setiap hari datang ke rumah untuk belajar tambahan. Kedatangannya tidak jarang dengan membawakan buah-buahan. Itu dilakukan setiap sore sepulang sekolah. Selain belajar terkadang mereka mengajak saya untuk bermain di dermaga atau jalan-jalan untuk mengitari desa. Hal itu sungguh menyenangkan sekali. Kenangan  itu sungguh tidak terlupakan. Maka suatu saat nanti saya dapat bertemu kembali dengan mereka. Tentunya dengan melihat kesuksesan mereka yang saya sebut matahari kecilku. Terima kasih Essang. Terima kasih Talaud, Tanah Porodisa. Terima kasih SM-3T. Salam Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. ( Jakarta, 02/02/2016 )


Awal kedatangan di Bandara Melonguane, Kabupaten Kepulauan Talaud-Sulawesi Utara

Apel Pagi di SDN Inpres Essang


Menanti senja di Dermaga Essang








Senin, 08 Februari 2016

Why Me..???

Kisah pengabdian SM-3T: 

Oleh Victory Luhur Nugroho, S. Pd.
SM-3T Penempatan Kabupaten Jayawijaya (Prov. Papua) 





”Tuut tuuut tuuuut…. Assalamualaikum, Pak dos pundi kabar e? Sehat sedoyo?” tanya seorang pemuda lewat handphone kepada orang tuanya.
”Waalaikumsalam, Alhamdulillah sehat kabeh Ho. Awak mu piye? Ngajar e lancar?” tanya seorang orang tua yang menanyakan kabar anaknya di tanah rantau Kalimantan.
”Alhamdulillah sehat Pak. Ngajar e nggih lancar. Pak, tahun niki wonten pendafataran SM3T angkatan ke-3. Menawi diparengaken kulo badhe melok tes dateng Universitas Mulawarman” tanya anak kepada orang tuanya untuk meminta izin mengikuti sebuah program.
”Lha trus leh mu ngajar piye? Opo arep kok tinggal? Ra eman-eman Ho” tegas seorang orang tua kepada anaknya.
Insayaallah pak, pun kulo niat i wiwit lulus kuliah, menawi pun lulus badhe melok program SM3T. Sak niki menawi pengen dados guru kedah gadhah sertifikat pendidikan profesi. Mangke sak wancine tumut SM3T angsal beasiswa Pendidikan Profesi Guru saking Dikti setunggal tahun“ ucap seorang anak yang meyakinkan orang tuanya agar diberi izin.


***


Sepenggal percakapan seorang anak yang minta izin kepada orang tuannya untuk mengejar cita-citanya menjadi guru profesional. Memang tak mudah untuk meninggalkan pekerajaan, meninggalkan kawan, meninggalkan kenangan, meninggalkan tanah rantauan Kalimantan.


13 September 2013, Bandar Udara Internasional Sepinggan
Teringat cerita guru IPS waktu SD, Pak Suyono namanya. Beliau bercerita tentang Puncak Cartenz yang ada di pegunungan Jayawijaya, yang kala itu masih menjadi bagian Kabupaten Jayawijaya provinsi Papua. Puncak tertinggi di Indonesia. Satu-satunya puncak di Indonesia yang memiliki salju abadi. Seperti mimpi, apakah aku akan ke sana, Jayawijaya?
Malam pukul 19:00 WITA goes to Bandar Udara Sultan Hassanudin Makassar. Satu jam perjalanan sekitar pukul 20:00 WITA sampai di Bandar Udara Sultan Hassanudin Makassar.


”Kita harus transit dulu sampai besok pagi..!” kata pak Herman, selaku pendamping 34 peserta SM3T Universitas Mulawarman tujuan Kabupaten Jayawijaya.
Huaaaaa… terpaksa karena adanya kesalahan jadwal pesawat menuju Bandar Udara Sentani,  kita harus menginap satu malam di Bandar Udara Sultan Hassanudin Makassar. Ku kira perjalanan perjalanan malam yang menyenangkan menuju tanah Papua. Akhirnya kita harus transit juga. Ada kawan yang mondar mandir untuk mencari sumber listrik, karena batrei handphonnya sudah habis. Ada juga kawan yang duduk dan tidur untuk membunuh waktu. Akupun mulai bingung untuk mencari tempat istirahat. Akhirnya ku putuskan untuk istirahat di mushola bandara.


14 September 2013, Bandar Udara Sentani Jayapura
”Landing take position” suara yang ku dengar dari speker kabin pesawat.


Alhamdulillah... Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ku injakkan kaki tenjang ku di tanah Papua. Tanah yang berada di ujung paling timur Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Tanah yang katanya mempunyai sejuta keunikan, tanah yang berdomisilikan mutiara-mutiara hitam bangsa.
Sebelum terbang ke Kabupaten Jayawijaya, pasukan biru-biru bermalam di Sentani sambil mengistirahatkan badan. Terjadi perdebatan kecil karena over bagasi yang terjadi Balikapapan dan Makassar. Ada bebrapa teman yang tidak terima karena ikutan bayar over bagasi, padahal barang yang dibawa tidak melebihi 20 kg. sebagai warga negara yang mengamalkan sila ke-4, kita bermusyawarahkan untuk menyelesaikan masalah ini. Keputusannya adalah dengan cara menimbang barang yang dibawa masing-masing peserta yang dibagasikan. Waaaah… wahh kena over bagasi deh Rp. 180.000,-, tak apalah demi kebaikan bersama.

***


15 September 2013, Bandar Udara Wamena Jayawijaya
Perjalanan luar biasa untuk sampai ke Kabupaten Jayawijaya. Hamparan langit, gunung, dan lautan Indonesia menghiasi perjalanan ku untuk sampai ke sana. Hanya ada satu jalan menuju Kabupaten Jayawijaya, yaitu ditempuh menggunakan pesawat Trigana Air, itu pun kita harus melewati jalan di antara dua tebing gunung. Jika pilot salah memilih jalan… Innalillahi hue hehehe . Sebelum berangkat kusempatkan untuk menghubungi keluarga di Jawa dan Kalimanatan, sambil memberi kabar bahwa hari ini akan berangkat dari Jayapura ke Jayawijaya. Dan meminta doa agar diberi keselamatan selama 45 menit perjalanan udara yang menegangkan.
Eeehh eeeeh Alhamdulillah ku ucapkan karena cuaca yang cerah di langit tanah Papua. Itu berarti tidak ada awan Colombus yang menghalangi pandangan pilot saat terbang.


            Di bawa kemana ini?”, tanyaku dalam hati setelah melihat hutan belantara dan gunung di bawah. Tidak nampak pemukiman sama sekali.
            Tepuk pipi! Ahh sakit”, ternyata bukan mimpi.


Akhirnya Trigana Air mendarat juga di Lembah Balliem, sebutan untuk Lembah di Pegunungan Tengah Wamena. Luar biasa pemandangan alam di sini. “I feel my soul” seakan-akan aku bisa merasakan jiwa ku. Ku hirup udara segar, hembusan angin yang semilir di antara gunung yang mengelilingi luasnya Lembah Balliem. Pertama kalinya melihat orang berkoteka, berjabat tangan dan foto bersama. Sepintas ada pikiran apakah aku nanti hidup dengan orang koteka selama setahun ke depan?
            Haaaai kawan, ternyata Wamena tidak sepedalaman yang kubayangkan, ternyata di sini banyak mobil-mobil mewah, banyak pendatang dari Jawa juga. Eh, ada mall juga. Orang bilang belum bisa dikatakan ke Papua kalau belum ke Wamena. Betul, karena akses satu-satunya untuk ke Wamena hanyalah pesawat udara. Semua barang-barang dan kebutuhan masyarakat di Wamena diangkut dengan pesawat. Wajarlah kalau di sini harga semua barang-barang kebutuhan selangit. 10 menit perjalanan, akhirnya kami sampai d Bethesda, tempat penginapan kami sementara sebelum menuju tempat tugas.


22 September 2013, Wamena Jayawijaya
Perintah tugas turun, kami harus berpisah dengan teman yang lain.


“Victory Luhur Nugroho, tempat tugas SMP YPPK Santo Thomas Wamena”, seru Pak Bambang selaku Sekertaris Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Jayawijaya. Dimanapun ditempatkan harus siap. Itulah janji yang ku ucapkan sebelum berangkat ke tanah pengabdian.


Kawan, tanpa sangka di sini ada keluarga yang sangat baik. Aku dan temanku dari Universitas Negeri Malang, Herlina Agustin namanya yang sering kupanggil dengan ”ndul” diberi tempat tinggal, bahkan menganggapku sebagai seorang anak. Dalam lingkungan yang hangat penuh canda tawa, di sanalah akan ku habiskan detik waktuku setahun ke depan. Di rumah keluarga Bapak Paidi.


***


Bapak guru, Bapak guru dari Jawa e?” Tanya seorang murid kepada ku
Iya nak, Bapak dari Jawa, dari Kabupaten Trenggalek, bersebelahan dengan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur” jawabku kepada anak itu seraya memberi informasi dari mana aku berasal. Maklum Kabupaten ku belum terkenal seperti Kabupaten sebelah. Sehingga ditanya oleh orang asing, pasti ku jawab seperti itu.
”Bapak guru, di Jawa itu seperti apa? Sa mo ke  Jawa Bapak Guru, sa mo sekolah di sana, dan menikah dengan orang Jawa. Klo menikah dengan orang Jawa tidak bayar babi tho Bapak Guru” pertanyaan yang disambut tawa oleh anak murid yang ikut bercakap di sekeliling ku
”Iya Bapak Guru, menikah disini mahal mo. Harus bayar dengan babi. Klo di jawa tidak tho” celetuk siswa yang lain.
Aku pun ikut tertawa bersama mereka. Bahkan pertanyaan yang ku anggap aneh sesekali muncul, seperti bagaimana bentuk genteng, berapa harga bensi, berapa harga babi, Hari-hari terus berlalu, anak muridku di sini sangat lucu-lucu, dengan khas bulu mata yang lentik, kulit eksotis, rambut keritingnya, dan dengan logat bahasa yang unik.
Terkadang aku ingin memliki rambut seperti mereka. Rambut yang bisa dianyam, biar kayak oang-orang Papua hehehe. Di sini aku sangat menikmati hari-hariku bersama anak murid. Selalu ada tawa di wajah manisnya, meskipun materi yang ku ajarkan harus diulang tiga sampai empat kali agar mereka memahami. Ada anak murid yang berjalan kaki hampir satu atau dua jam untuk sampai ke sekolah. Dengan seragam yang ku pikir sudah tidak pantas mereka pakai. Mereka tetap semangat untuk belajar. Melihat semangat belajar mereka yang tinggi, semangat mengajar pun kian terpupuk. Suatu saat nanti aku yakin pasti ada Presiden Indonesia yang berasal dari Papua
            Sesuatu yang kita kerjakan, kita lakukan dengan ikhlas, Insyallah akan terasa nikmat. Enam bulan bukanlah waktu yang singkat bersama keluarga SMP YPPK Santo Thomas Wamena. Mungkin selama setahun nanti aku tak akan bisa membuat pintar atau mengubah cara berpikir mereka. Namun setidaknya aku disini bisa melukiskan sedikit kenangan indah untuk mereka para mutiara hitam bangsa. Senyum hangat mereka kepada gurunya tak kan pernah pudar. Di sinilah aku benar-benar merasakan sangat dihormati sebagai pendidik. Sepanjang jalan, tak pernah merasa sendiri, selalu ada senyum sapaan yang terdengar si telinga. Tidak hanya anak murid, tapi sapaan itu selalu terdengar mulai dari tukang becak, tukang ojek, sopir angkot, hingga mama-mama yang jualan di pasar. Serentetan aktifitas kegiatan kemasyarakatan aku lakukan.

***


28 Juli 2014, Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriah
”Allahu akbar… Allahu akbar… Allahu akbar, Laa ilaaha illallahu wallahu akbar, Allahu akbar walillaahil hamd”. Terdengar suara takbir saling sahut menyahut di Lembah Balliem.
”Tuuuut… tuuuut… tuuuut… tuuuut…” Sekitar pukul 05:00 WIT ku hubungi keluargaku di Jawa, seakan tak ada yang menjawab telfonku. Dalam pikir ku, orang tua ku masih terlelap dalam tidurnya. Memang selisih waktu yang berbeda dua jam antara Papua dan Jawa.
”Tuuuut… tuuuut… tuuuuuut… Hallo, Assalamualaikum”. Ku hubungi lagi setelah selesai Sholat Idul Fitri. Alhamdulillah ada jawaban yang ku rindu dari tadi pagi.
”Waalaikumsalam, dos pundi kabar e pak?” Jawabku langsung menanya kabar dengan nada terbata.
”Alhamdulillah apik, awkamu piye Ho? Mau jek turu kabeh, lha telfon kok jam telu subuh” terdengar suara nan jauh di sana.
“Alhamdulillah sae, Pak,… nyuwun ngapura menawi kula gadah salah dateng njenengan, derang saget maringi napa-napa Pak, dereng saget dados anak ingkang berbakti”. Itu lah yang keluar dari mulut ku sambil menahan air mata.
Kawand, hari ini tak seperti hari pada tahun-tahun yang lalu. Bagi ku Hari Raya Idul Fitri yang luar biasa, jauh dari orang tua. Hanya permintaan maaf dan terimaskasih yang bisa kuucapkan kepadanya. Di Wamena toleransi umat beragama sangat dijunjung tinggi. Mayoritas penduduk di Wamena adalah non-muslim, jadi hanya ada beberapa masjid yang mengumandangkan takbir. Aktifitas tak berlangsung seperti biasa. Aku dan keluarga Bapak Paidi bersiap-siap untuk Sholat Ied di Masjid Agung Wamena, yang juga dikenal dengan Masjid Baiturrahman.

***


30 Agustus 2014, Go Home
… Oh kasih ku, tiba saatnya berpisah
Ulurkan tangan manis mu, dan peluklah diriku
Sebentar lagi ko tinggalkan daku
Bunga yang ku berikan
Ko bawa pulang sebagai tanda mata
Kalung emas yang ku berikan mewakili sebagai tanda kasih
Sungguh sedih hati ku ini
Bagai sejarah kita di lembah Balliem
Ko baliklah dengan senyum simpu mu
Sebagai tanda perpisah di Kota Dingin ini
Dan tak lupa, lambaikan tangan mu
Saya juga, tara tau kapan kapan kapan kapan
Kapan dan di mana kita jumpa lagi


Lagu yang masih terngiang di kepala ku, suara nyayian anak-anak Lembah Balliem yang mengiringi kepergian ku dari tanah Papua.  Sejuta kenangan terukir di sana. Dengan berjalannya waktu, bagai panah yang terlepas dari anak busurnya. So, why me, bukan dia atau mereka? Karena semua ini bukanlah suatu kebetulan, ALLOH lah yang sudah menakdirkan ku harus ke Papua. Ku titipkan tanah Papua ini kepada kalian anak-anak murid ku. Jangan sampai para penjajah merebut kemerdekaan mu. Tetaplah menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bisa bersamamu selama ini adalah anugerah terindah. Selamat berpisah, maaf dan terimakasih dari Bapak Guru mu, Victory Luhur Nugroho.

***


Terimaksih kepada ALLOH SWT, orang tua ku, Keluarga Bapak Paidi, Keluarga SMP YPPK Santo Thomas Wamena, kawand-kawand SM3T Univesrsitas Mulawarman dan Universitas Negeri Malang, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya.